Senin, 27 Desember 2010

RANGKUMAN DOGMATIK HUKUM, TEORI HUKUM DAN FILASAFAT HUKUM

Shaff Muhtamar

Dogmatik Hukum Dan Teori Hukum
Dogmatika hukum/Ajaran Hukum adalah cabang ilmu hukum yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada kurun waktu tertentu dari sudut pandang normatif. Sudut pandang normatif ini dapat berupa yuridik internal ataupun ekstra yuridik. Menggali sumber-sumber hukum formal. Dogmatic hukum bertujuan untuk sebuah penyelesaian konkrit secara yuridik-tehnikal bagi sebuah masalah konkrit atau membangun sebuah kerangka yiridik-tehnikal yang didalamya berdasarkan sejumlah masalah yang kemudian harus memperoleh penyelesaian yuridik. Penelitiannya bersifat preskriptif / normatif. Bahwa diluar dogmatik hukum.

Hubungan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum
Secara umum kita dapat memandang teori hukum, dalam hubungannya dengan dogmatik hukum, sebagai suatu mete-teori dari dogmatik hukum.

Sebuah meta-teori adalah disiplin yang obyek studinya adalah sebuah ilmu yang lain. Jika dogmaka hukum mempelajari aturan-aturan itu sendiri dari suatu sudut pandang tehnikal (walaupun tidak dogmatik), maka teori hukum pertama-tama adalah refleksi terhadap tehnik hukum itu.

Dogmatik hukum berbicara tentang hukum, teori hukum berbicara tentang yang dengannya ilmuwan berbicara tentang hukum. Ini adalah apa yang disebut orang pembedaan antara bahasa-obyek dan meta-bahasa. Ilmuwan hukum berbicara tentang hukum berdasarkan hukum, teori hukum berbicara tentang hukum bertolak dari suatu perspektif bukan yuridik (-tehnikal) dalam suatu bahasa bukan yuridik (-tehnikal).

Apa yang dilakukan oleh pakar teori hukum adalah melakukan studi krtikal terhadap penalaran dari ilmuan hukum dan instrumentarium konsep-konsep yuridik, tehnik-tehnik intrepretasi dan krtiteria untuk keberlakuan aturan-aturan hukum (hirarki sumber-sumber hukum dan sejenisnya) yang digunakannya. Jadi dogmatika hukum dan teori hukum jelas mensituasikan diri pada tataran yang berbeda.

Dengan demikian orang dapat menarik garis lebih tajam antara dogmatika hukum dan teori hukum ketimbang misalnya antara teori hukum dan logika hukum. Ini mengandung arti bahwa dogmatika hukum dan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan yang satu terhadap yang lainnya masing-masing memiliki wilayah-telaah yang mandiri.

Dogmatika hukum bertujuan untuk memberikan suatu pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang berlaku.

Teori hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan sistematisasi ini.

Dogmatika hukum membangun disatu pihak suatu instrumentarium tehnikal-yuridik dan suatu sistem hukum positif dan di lain pihak berupaya menemukan penyelesaian yang paling adekuat bagi masalah-masalah hukum konkret.

Instrumentarium tehnik-yuridik dan sistem hukum tersebut dibangun atas dasar masalah-masalah yang tergadapnya praktek-praktek hukum dikonfrontasi, sementara masalah-masalah ini pada gilirannya disituasikan ke dalam konteks hukum positif yang berlaku.

Dogmatika hukum bertujuan untuk memberian suatu penyelesaian konkret secara yuridik-tehnikal, bagi masalah konkret, atau membangun suatu kerangka yuridik-tehnikal yang didalamnya dan berdasarkannya sejumlah masalah yang ada dan yang kemudian akan harus dapat memperoleh penyelesaian yuridik.

Sebagai ciri khas pembeda antara dua disiplin ini sering dintujuk pada fakta bahwa dogmatika hukum mempelajari hukum positif sebagaimana ia pada suatu waktu tertentu dan disuatu tempat tertentu memiliki kekuatan berlaku, sedangkan teori hukum, secara prespektif ‘ajaran hukum umum’ mempelajari hukum dalam ‘keumumnnya’ lepas dari aturan-aturan hukum konkret dan sistem-sistem hukum konkret. G.W. Paton mengatakan ”jurisprudence is a particular method of study, not of the law of one country but of the general nation of law itself”

Dogmatika hukum membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi dari hukum positif yang berlaku, dalam arti bahwa kegiatan ini tidak dapat dipandang sebagai netral dan obyektif melainkan berlangsung dengan beranjak dari suatu sudut pendekatan subyektif atau inter-subyektif. Berkenaan dengan tipe-tipe ilmu klasik seperti fisika dan sejarah, dogmatika hukum tidak bertujuan mencari penjelasan yang melandasi atau meramalkan gejala-gejala hukum.

Sebaliknya, teori hukum justru tidak membatasi diri pada pemaparan dan sistematisasi, melainkan bertujuan dan dalam hakikatnya untuk memainkan peranan menjelaskan dan menjernihkan.


Filasafat Hukum
Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan dalam hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan paling dalam dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur, dan sejenisnya dari kenyataan.

Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan ini difokuskan pada ketertiban-ketertiban yuridikal. Dalam kepustakaan, filsafat hukum didefinisikan:
 Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak selalu dapat diuji secara rasional, dan yang menyibukkan diri dengan latar belakang dari pemikiran (I. Tammelo);
 Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang ‘benar’, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen);
 Sebagai sebuah refleksi atas dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berpikir sistematikal yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasilyang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berpikir) itu sendiri dan yang mencari suatu hubungan teoritikal terefleksi, yang di dalamnya gejala-gejala (hukum) dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen);
 Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakekat (sifat) dari keadilan, pegetahuan tentang bentuk keberadaan transcendental dan immanen dari hukum, pengetahuan tentang nilai-nilai yang didalamnya hukum berperan dan tentang hubungan antara hukum dan keadilan, pengetahuan tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum, dan pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay).

Definsi-defenisi tersebut cukup heterogen, namun dipandang secara umum orang dapat juga mengatakan bahwa filsafat hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dan berupaya untuk menjawab dalam hubungannya dengan hukum dan kenyataan-kenyataan hukum.

Wilayah-telaah dari filsafat hukum dapat dibagi ke dalam sejumlah wilayah-bagian berikut ini:
1. Ontologi hukum (ajaran hal ada, zijnsleer): penelitian tentang “hakekat” dari hukum, tetang ‘hakekat’ misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral.
2. Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer): penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalagunaan hak.
3. Ideologi hukum (harafia: ajaran idea, ideenleer): pengelolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian dari sistem tersebut (misalnya tatanan hukum kodrat, filsafat hukum marxistik).
4. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan pengetauan tentang ‘hahekat’ dari hukum atau masalah-masalah fundamental lainnya mungkin. Jadi ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat.
5. Teleologi hukum (ajaran finalitas): hal menentukan makna dan tujuan dari hukum.
6. Ajaran ilmu (wetenschapsleer) dari hukum: ini adalah meta-teori dari ilmu hukum, yang didalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan dengan kriteria bagi keilmiahan.
7. Logika hukum (rechtslogika): penelitian tentang aturan-aturan berfikir hukum dan argumentasi yuridik, bangunan logika serta struktur sistem hukum.

ANALISIS ATAS BEBERAPA POSTULASI PENTING DALAM HUKUM (Yakni Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat, Kemanfaatan Dan Keadilan, Kebaikan Bers

Shaff Muhtamar

Kehidupan masyarakat manusia tidak bisa dipisahkan dengan suatu sistem hukum. Hukum telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, baik dalam konteks hukum itu sebagai aturan yag tertulis maupun sebagai suatu ‘kebiasaan ’ dari kiadah yang tak tertulis. Ada adigium klasik yang sering kita dengar menyebutkan bahwa ‘dimana ada masyarakat disitu ada hukum’ ; artinya tidak ada satu keberadaan masyarakatpun tanpa didalam kehidupannya terdapat hukum, masyarakat adalah ‘tempatnya’ hukum bisa tumbuh dan berkembang; bisa juga dikatakan hukum hanya bisa ‘eksis’ dalam tubuh masyarakat.

Dan dari banyak teori mengenai hukum yang ditulis oleh para ahli, baik dalam arus pemikiran Barat maupun Timur; hukum dikategorikan sebagai salah satu dari ilmu pengetahun yang tersangkut-paut dengan dinamikan kehidupa sosial masyarakat. Atau dapat dikatakan bidang hukum adalah bagian dari ilmbu sosial. Karena hukum terkait dengan ilmu sosial maka variable utamanya adalah masyarakat sebagai keseluruhan sistem, baik dari sisi perilakunya, ide-ide atai pemikiran masyarakat, dan praktek-praktek kehidupannya dalam segala bidang kehidupan.

Dalam konteks keseluruhan sistem kemasyarakatan tersebut, hukum masuk sebagai bagian dari keseluruhan, yang memiliki fungsi tertentu dalam dinamika kehiduapan masyarakat tersebut. Hukum sebagai bagian dari masyarakat tentu memiliki maksud-maksud, tujuan-tujuan dan atau misi-misi tersendiri bagi keberadaan suatu masyarakat.

Dari aliran-aliran teoritis hukum yang ada kita diperhadapkan pada masalah-masalah penting terkait dengan ideal-ideal dari hukum tersebut, antaralain misalnaya:
- Bagaimana hubungan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dalam konteks hukum?
- Sejauhmana kemanfaatan itu berkolerasi dengan keadilan?
- Deskripsi mengenai perbedaan dan atau persamaan dari tujuan bersama/kebaikan bersama dengan rasa keadilan itu?

Untuk itu, dalam ‘esei’ sederhana ini sebagai tugas matakuliah Filsafat Hukum, coba untuk di analisis secara deskriptif mengenai tiga masalah tersebut diatas, untuk mengetahui sejauhmana hal-hal tersebut memiliki nilai penting baik dalam konteks hubungannya sata sama lain maupun pertentangannya satu sama lain.

I. Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat

Dalam ilmu-ilmu sosial konsep mengenai individu dan masyarakat dikenal sangat luas. Sebagai konsep tentu lahir berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Dan juga dalam keseharian kita dapat dengan muda membedakan manusia sebagai idnividu dan manusia sebagai masyarakat. Bahwa dalam kehidupan sejarah manusia, dapat dikatakan bahwa kehiduapan itu terdiri atas kehidupan individual dan kehidupan masyarakat. Sehingga banyak dari ilmuan kemudian membuat klasifikasi mengenai Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.

Roscoe Pound (1870-1964) miasalnya, memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (“Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat”). Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
a. Kepentingan Umum (Public Interest)
1. Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
2. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b. Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2. Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3. Pencegahan kemerosotan akhlak
4. Pencegahan pelanggaran hak
5. Kesejahteraan sosial.
c. Kepentingan Pribadi (Private Interest)
1. Kepentingan individu
2. Kepentingan keluarga
3. Kepentingan hak milik.

Pada akhirnya, menurut hemat penulis, bahwa kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah dua variabel penting yang harus mendapat perhatian dalam hukum, mengingat kedua variabel itu ada dalam eksistensi kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar tidak terjadi ‘benturan’ antara dua jenis kepentingan tersebut maka ‘jalur’ hukum bisa menjadi alat untuk mengatur beragam kepentiingan yang ada dan berkembang dalam keseharian kehiduapan kita sebagai manusia.

Tanpa ada suatu mekanisme yang ‘menertibkan’ lalulintas kepentingan manusia ini, maka mungkin saja akan selalu terjadi kegoncangan sosial yang bisa mengarah pada chaos sosial terus-menerus, sebab ‘kepentingan’ salah satu elemen penting dari manusia dan oleh karena itu selalu ada dalam dirinya. Oleh karena itu, hukum dalam konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik dia sebagai individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.

Namun penting untuk dipertanyakan; manakah diantara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat ini yang memiliki nilai paling menentukan sehingga senantiasa harus didahulukan pembelaan hukum atasnya? Manakah yang paling menentukan suatu perubahan atau capaian dari tujuan kehidupan manusia diantara kedua kepentingan tersebut, yang jika diabaikan akan membuat kehidupan ini ‘tak berdaya’?


II. Kemanfaatan dan Keadilan

Sebagaimana halnya kepentingan individual dan kepentingan masyarakat tersebut diatas, dalam teori hukum, khususnya menyangkut tujuan hukum, juga terdapat beragam aliaran-aliran pemikiran yang masing-masing berbeda menurut latar filsufis dan background sosial dari pengamatan para ahli. suatu hukum yang baik setidaknya, menurut para ahli, harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.
Antara Kemanfaatan dan Keadilan, jika ditimbang-timbang secara rasional dan emosional, kelihatannya keduanya ibarat dua sisi mata uang, atau secara natural keduanya ibarat matahari dan sinarnya; keduanya saling mengidentifikasi satu sama lain, tidak saling melengkapi tetapi saling menyambungkan makna atas keduanya, seperti yang biasa disebutkan oleh Prof. Abrar bahwa “kalau dia adil pastilah bermanfaat, dan kalo dia bermanfaat pastilah adil”. Artinya kedua hal tersebut tidak terpisah secara pragmatis namun menyatu secara maknawi.

Oleh sebab itu oleh bebrapa ahli telah menunjukkan secara kuat bahwa tujuan hukum selain untuk Keadilan tetapi juga untuk kemanfaatan. Dan penting untuk kita mengutip gagasan Aristoteles mengenai keadilan ini, untuk member kita gambaran tentang apa yang akan dituju oleh hukum tersebut jika tujuannya adalah untuk keadilan.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil (ada yang membaginya menjadi keadilan distributif dan keadilan komulattif).
Atau dalam pengertian lain, keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan menurut Geny tidaklah ada artinya sama sekali.
Secara umum kita bisa mengambil titik simpul bahwa keadilan itu merupakan tindakan dalam segala perpektifnya baik moral, etik, maupun religius, yang merupakan titik imbang dari dua kutub yang bertentangan secara ekstrim. Keadilan merupakan tindakan moril, tindakan etik ataupun tindakan religius.
Sementara Kemanfaatan merupakan akibat logis dari suatu tindakan yang bermotif baik, atau nilai guna dari tindakan pragmatis yang dilakukan manusia atas dasar pertimbangan-pertibangannya untuk sesuatu yang baik. Kemanfaatan selalu berkolerasi dengan kebaikan rasional, etika dan keagamaan. Sesuatu dikatakan bermanfaat jika suatu tindakan yang telah dilakukan dampaknya dapat dirasakan ‘menguntungkan’ bagi kemanusiaan para pihak yang terkait dengan tindakan tersebut, baik dalam konteksnya sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam sinergisitas antara tujuan hukum dalam keadilan dan kepastiannya dalam pelaksanaan hukum tersebut. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindungi dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
Antara kemanfaatan dan keadilan sebagai cita-cita hukum, maka sejatinya kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan dalam suatu proses pragmatis hukum. Artinya hukum jangan terlalu ekstem hanya berkutat pada keadilan sebagaimana yang dikehendaki hukum, atau keadilan procedural, namun juga tidak boleh mengabaikan dimensi-dimensi ideal dari apa yang tidak tertulis dalam undang-undang atau suatu peraturan.
Dalam hal ini, dimensi kemanfaatan, juga harus menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan hukum atau dalam suatu penegakan peraturan perundang-undangan. Jika telah dipahami bahwa antara kemanfaatan dan keadilan adalah dua hal yang semakna, maka adalah baik jika keadilan yang menjadi tujuan hukum juga mengandung nilai manfaat, dan atau sebaliknya jika hukum berorientasi pada kemanfaatan maka juga harus mengandung nilai keadilan.
Namun seringkali dalam kenyataannya, kedua hal tersebut tidak berjalan beriringan; bahwa banyak dari putusan pengadilan yang jika diteliti dan dilihat dampaknya sebenarnya tidak menimbulkan manfaat yang sesungguhnya, namun keputusan itu disebut ‘adil’ karena merupakan keputusan hakim.
Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya.
Oleh karena itu banyak kalangan menghendaki memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

III. Kebaikan Bersama Dan Rasa Keadilan

Masalah pokok yang juga sering manjadi pokok pemikiran dalam ilmu ataupun teori hukum adalah tentang Kebaikan Bersama dan Rasa Keadilan. Secara umum, antara kebaikan bersama dan rasa keadilan, jika dipandang sepintas kelihatannya tidak memiliki hubungn sama sekali, sebab dari redaksi atau kata dari keduanya menunjuk pada ‘makna yang berbeda’.

Menyangkut kebaikan bersama, sebagaimana dengan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa jika ada kebaika bersama maka juga pasti ada kebaikan personal, menginngat masyarakat itu tidak hanya terdiri dari kumpulan individu (bersama) tetapi juga individu-individu yang bersifat personal.

Jika dikaji lebih lanjut, kebaikan bersama dapat dimaknai sebagai ‘harapan nilai baik yang dikenedaki oleh mayoritas atau orang banyak dalam suatu masyarakat’. Ada harapan yang dikehendaki bersama oleh suatu lapisan masyarakat, harapan itu tentulah menyangkut nilai-nilai kebaikan, kebaikan yang bersifat universal. Kebaikan yang dimaksud tentunya bertalian dengan harapan-harapan ideal dari kemanusiaan masyarakat itu sendiri, misalnya harapan akan kebahagiaan jasmania dan kebahagiaan rohania.

Artinya kebaikan bersama ini adalah kebaikan yang dikehendaki oleh pada umumnya orang yang ada dalam suatu masyarkat tanpa mengurangi nilai atau subtansi dari kebaikan-kebaikan individual, karena bisa jadi juga kebaikan bersama ini merupakan akumulatif dari kebaikan-kebaikan yang besifat personal.

Sementar mengenai rasa keadilan, kita bisa misalnya merujuk pada gagasan islam tentang keadilan. Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia.

Keadilan adalah satu sisi, dan rasa keadilan adalah sisi lain. Jika kita bersandar pada perspektif islam tersebut mengenai keadilan yang mensyaratkan hukum itu harus mencipatakan dan memelihara maslahat umat manusia, maka kita dapat memaknai bahwa antara keadilan dan rasa keadilan itu bukanlah dua hal yang berbeda, keduanya adalah satu kesatuan yang memang tak terpisah.

Namun berlaian dengan apa yang kita sering saksikan dalam keseharian kita sebagai masyarakat Indonesia dengan sistem hukum positivnya; seringkali kita menyaksikan penomena penegakan hukum yang secara terang ‘memisahkan’ antara suatu keadilan dalam suatu putusan hakim dengan ‘keinginan keadilan’ yang berkembang dalam masyarakat. Atau sering dinamakan keadilan hakim merupakan juga rasa keadilan namun bersifat subyektif, sementara ‘diaggap’ bahwa rasa keadilan masyarakat adalah rasa keadialan yang obyektif. Tentu saja ini sangat debatable mengenai obyekti atau subyektifnya rasa keadilan, baik oleh para hakim maupun dalam masyarakat.

Dan hukum yang dibuat oleh Negara pada paling tidak oleh para pembuatnya sudah sedemikian mempertimbangkan capaian-capaian ideal dari hukum yang dibuatnya, meskipun memang tidak bisa dipungkiri bahwa juga para pembuat itu tidak bisa melepaskan diri dari beragam kelemahan dan keterbatsan-keterbatasan, bukan hanya secara teoritis tetapi juga elemen-elemen tehins serta elemen non hukum lain yang bisa berpengaruh terhadap kualitas suatu hukum yang dibuat tersebut.

KOMENTAR ATAS GAGASAN LEGAL POSITIVISM JHON AUSTIN DAN H.L.A HART MENGENAI KEKUASAAN DAN KONSEPSI NEGARA NASIONAL

Shaff Muhtamar

Pengertian-pengertian Awal
Dalam rangka memberi komentar terhadap gagasan legal positivism Jhon Austin dan H.L.A Hart mengenai pendapat mereka tentang “Kekuasaan” dan “Negara Nasional”, maka perlu rasanya memulai komentar ini dengan terlebih dahulu medeskripsikan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan terma “Positiwisme” itu sendiri. Hal yang dimaksudkan disini adalah sejarah filosofi dari istilah tersebut dan juga arti dan pemaknaan dari istilah positivism, serta bertalian dengan itu adalah penggunaannya dalam beragam ilmu pengetahuan sebagai landasan filosofis.

Dalam membincangkan positivism, kita tidak bisa melepas diri dari pembicaraan mengenai sejarah filsafat barat, sebab positivism untuk pertamakalinya hanya dikelnal dalam sejarah filsafat barat. Artinya tempat lahir filsafat positivime adalah dari rahim pemikiran barat.

Fase zaman baru abad 17 dalam sejarah filsafat hukum pemikiran positivism mulai dikenal dan adalah Thomas Hobbes, filsuf yang memperkenalkan corak positivism dalam atmosfir pemikiran hukum. Thomas Hobbes (1588 - 1679) memutuskan tradisi hukum alam yang mengandung banyak kontraversi. Ia banyak menggunakan siatilah “hak alamiah” (law of nature) dan akal benar (right reason). Namun, yang pertama baginya adalah kemerdekaan yang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan (kekuatan)-nya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi preservasi hakikatnya sendiri,yang berarti kehidupanya sendiri. Kedua adalah asas-asas kepentingan sendiri yang sering didefinisikan dengan kondisi alamiah dari ummat manusia. Ketiga, kondisi alamiah dari ummat manusia adalah peperangan abadi yang didalamnya tidak ada standar perilaku yang berlaku umum. Langkah yang krusial dari teori Hobbes adalah pengidentifikasian masyarakat dengan masyarakat yang terorganisasikan secara politik, dan KEADILAN DENGAN HUKUM POSITIF. Kaidah-kaidah hukum adalah perintah dari penguasa (the sovereign), para anggota suatu masyarakat mengevaluasi kebenaran dan keadilan dari perilaku mereka, dengan mereferensi pada perintah-perintah yang demikian. Namun Hobbes juga mengatakan, walaupun penguasa tidak dapat melakukan suatu ketidak adilan, ia dapat saja melakukan suatu kelaliman (iniquity).
Sementara Positivisme dalam pengertian modem adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukurn-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-asul tertinggi (Muslehuddin, 1991: 27). Dengan kata lain, positivisme merupakan sebuah sikap ilmiah, menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Teori ini dikembangkan oleh August Comte, seorang sarjana Perancis yang hidup pada tahun 1798 hingga 1857.

Dimulai pada pertengahan kedua abad ke-19, positivisme menjalar ke dalam segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Ia berusaha untuk mendepak pertimbanganpertimbangan nilai-nilai dari ilmu Yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobak tatanan hukum positif. Para positivis mengajarkan bahwa hukum positivlah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. la juga menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.

Pandangan-pandangan Jhon Austin dan H.L.A Hart
Diketahui secara luas bahwa sarjana yang membahas secara komprehensif sistem positivism hukum analitik adalah John Austin (1790-1859), seorang yuris Inggris. la mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide-ide baik dan buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi (Friedmann, 1990: 258)., Menurut Austin, ilmu yurisprudensi membicarakan hukumhukum positif, karena mempertimbangkan tanpa memperhatikan baik atau buruknya hukum-hukum itu. Semua hukum positif berasal dari pembuat hukum yang sangat menentukan, sebagai yang berdaulat. Ia mendefinisikan penguasa sebagai seorang manusia superiori yang menentukan, bukan dalam kebiasaan ketaatan kepada seorang yang seakan-akan superiori dan yang menerima kebiasaan ketaatan dari suatu masyarakat tertentu. la menjelaskan bahwa atasan itu mungkin seorang individu, sebuah lernbaga atau sekumpulan individu. Penguasa tidak dengan sendirinya diikat oleh batasan hukum baik dipaksakan oleh prinsip-prinsip atasan atau oleh hukum-hukumnya sendiri.

Menurut H.L.A Hart adalah hukum itu adalah perintah; tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan atau yang diinginkan; studi hukum tentang makna hukum adalah penting tetapi harus dibededakan dengan studi sejarah, sosiologis dalam makna moral, tujuan sosial dan fungsi sosial; sistem hukum adalah sistem tertutup, merupakan putusan-putusan yang tepat dari aturan sebelumnya; dan menghukuman secara moral tidak dapat lagi ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argument yang rasional/pembuktian dengan alat bukti.

Tentang Kekuasaan dan Negara Nasional
Berdasarkan pengertian Austin dan Hart, maka:
 Analytical jurisprudance disatu sisi menekankan pada kekuasaan yang besar dari penguasa (negara) disisi lain menghendaki jaminan atau kepastian akan kebebasan warga negara
 Dalam konsepsi negara nasional, negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari warga negara serta menghendaki adanya kebebasan warga negara yang seluasnya

Kritik - Analisis
Sejak kemunculannya, posistivisme sebagai salah satu aliran filsafat telah mendapat tantangan dari berbagai filsuf yang lain, baik dari kalangan filsuf barat sendiri maupun kalangan filsuf timur khususnya islam. Jika ‘diklasifikasi’ para pengkritik aliran positivism ini adalah para filsuf yang memegang teguh postulasi mengenai ‘baik dan bukuk dalam perngertian moril, etik dan religi mememegang peranan esensial dalam menilai kebenaran/realitas’.

Misalnya penggolongan Austin yang mengkategorikan semua hukum sebagai perintah telah dikritik oleh berbagai penulis seperti Bryce, Gray, Dicey, yang menganggap hak-hak privat, undang-undang administratif dan hukum-hukum deklaratori tidak bisa digolongkan sebagai perintah. Disamping itu, teori Austin tidak menawarkan pemecahan dalam menghadapi interpretasi-interpretasi yang bertentangan dengan suatu keadaan atau preseden. Pemisahan hukum secara ketat dari cita-cita keadilan juga dibantah oleh pemikir-pernikir lain .

Artinya landasan gagasan mengenai Legal Positivism telah dikrtik bayak kalangan karena sifatnya yang memisahkan antara “yang ideal” dan “yang realitas”. Positivism hanya melihat kebenaran dari apa yang nampak secara empirical, apa yang tersembunyi dibalik ‘cita-cita, ideal-ideal dan prinsip-prinsip’ karena sifatnya abstrak maka tidak dapat dipertimbangkan sebagai variable untuk mengukur kebenanan.

Coraknya yang demikian inilah yang mewarnai kecenderungan aliran positivism dalam beragam bidang pengetahuan, termasuk bidang hukum yang cenderung melihat kebenaran itu dari ukuran-ukuran formalitas-formalitas.

Terkait dengan pandangan legal positivism tentang kekasaan dan konsep Negara nasional; bahwa Analytical jurisprudance disatu sisi menekankan pada kekuasaan yang besar dari penguasa (negara) disisi lain menghendaki jaminan atau kepastian akan kebebasan warga Negara dan dalam konsepsi negara nasional, bahwa negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari warga negara serta menghendaki adanya kebebasan warga negara yang seluasnya.

Jika pandangan-pandagan tersebut dianalisis maka kita akan menemukan dan memisahkan beberapa premis-premis penting seperti:
- Kekuasaan besar pada penguasa/Negara
- Kebebasan warga Negara
- Negara mempunya kekuasaan yang besar dengan syarat ketaatan tanpa syarat warganegara
- Kebebasan warga Negara seluas-luasnya.

Dari klasifikasi ini, kita dapat menarik benang merah gagasan, yang jika ‘dipadatkan’ maksud atau maknanya, maka kita dapat menunjuk dua premis utama dalam gagasan tersebut yakni:
1. Kekuasaan Negara yang besar
2. Kebebasan warga Negara yang luas
Menurut hemat saya kedua hal tersebut sangat kontradiktif dalam konteks logika kekuasaan. Kekuasaan terdiri atas dua variable utama, yakni Pihak Yang Berkuasa dan Pihak Yang Dikuasai/dalam penguasaan. Kekuasaan menjadi besar ataupun kecil sangat bergatung pada ‘daya jangkau/aksesibilitas’ kekuasaan itu terhadap pihak yang dikuasai; ‘daya jangkau’ yang dimaksud adalah sejauh mana pengendalian dan pemerintahan penguasa itu mampu menciptakan ‘ketundukan’ pada pihak yang dikusasi.
Sementara kehendak pada ‘Kekebasan Warga Negara’ mensyararatkan adanya Kekuasaan yang ‘lunak’ pada pihak yang dikuasai, sehingga terdapat ruang yang lebar bagi ekspresi kewarganegaraan. Dan seringkali dalam praktek ekpresi ‘Kekebasan Warga Negara’ dalam rana Negara modern, berkecenderungan menciptakan ‘instabilitas’ dan wibawah kekuasaan Negara menjadi tereduksi. Praktek ini sesungguhnya sagat dihindari oleh pemegang kekuasaan dalam Negara, sebab akan mendorong meluasnya kritik destruktif terhadap penguasa dan bisa member peluang terjadinya ‘pengambilalihan’ kekuasaan dalam segala bentuknya.
Jika melihat gagasan Jhon Austin dan H.L.A Hart tersebut yang berbasis pada positivisme, bahwa Kekeuasaan Negara yang besar menghendaki ketaatan absolut warga Negara maka, konsekwensinya kekuasaan Negara itu menjadi sangat otoritarian dalam pengertiannya yang luas. Dan dalam prakteknya aka ada kencederungan penguasa mengggunakan kekuasaannya dengan tangan besi dalam rangka memenuhi ketaatan tanpa syarat tersebut; konsekwensinya atas penindasan atas hak-hak dasar masyarakat. Dan sebaliknya jika ‘Kekebasan Warga Negara’ berjalan tanpa kontrol penguasa negara maka Negara akan kehilangan peran vitalnya sebagai organisasi kekuasaan yang punya cita-cita tertentu bagi masyarakatnya.
Oleh karena itu menurut hemat saya, konsep Jhon Austin dan H.L.A Hart tentang kekuasaan dan Negara nasional adalah ‘berbahaya’ secara teoritis maupun praktek karena:
1. Paradigma awalnya adalah pemisahan secara ketat antara yang baik dan buruk secara moril, etik dan religius dengan dunai empiris/pengalaman. Hukum, kekuasaan dan Negara hanya dilihat dalam kepentingan pragmatis dari kekuasaan dan tidak melihat dari hakekat kepentingan kekuasaaan dari sisi yang lebih sublim dalam terma ketuhanan.
2. Jika diterapkan dalam praktek, maka akan menimbulkan dampak yang buruk dalam kehidupan masyarakat manusia, karena watak dan sifatnya yang cenderung ‘tanpa nilai-nilai’ fitrah dan hanya mengutamakan ‘akal’ semata, sehingga prakteknya akan bententangan dengan watak asali dari jiwa manusia dan sejarah itu sendiri.
3. Sifatnya yang kontradiktif, akan menimbulkan ambiguisitas baik dia sebagai prinsip maupun sebagai praktek. Teori tersebut sengaja pempertentangkan antara ‘kekuasaan’ dan ‘kebebasan’ dalam rana politik, yang juga dengan sengaja diharapkan akan menimbulkan ‘benturan’ antara pihak penguasa dengan pihak yang dikuasai; dan ‘benturan’ yang tercipta tentu akan menguntungkan penguasa Negara sebab Negara memiliki alat-alat keamanan yang bisa digunakan untuk menjaga kekuasaan Negara, sementara pihak yang dikuasai hanya bermodalkan ‘kehadiran fisik’ sebagai massa. Teori ini sangat sangat diminati kaum ‘konspiratif’ yang selalu menghendaki chaos dan mengambil keuntungan material dibalik kekacauan yang timbul.

NESTAPA PANJANG HUKUM INDONESIA

Oleh Shaff Muhtamar

NESTAPA PANJANG HUKUM INDONESIA

Agustus tahun ini (2010), sebagaimana biasanya, bangsa kita merayakan hari kemerdekaannya. Usianya kini sebagai Negara genap 65tahun. Dan jika kita bertanya berapakah juga usia sistem hukum kita? Maka usia Negara Indonesia itulah jawabnya, 65 tahun.

Dan sepanjang 65 tahun ini, kita sebagai bangsa dan Negara telah banyak melakukan sesatu dalam kerja pembangunan. Diawal-awal kemerdekaan dan bahkan sampai sekarang motiv utama pembangunan nasional kita adalah kesejahteraan ekonomi. Namun demikian, negera tetap memikirkan semua sendi-sendi kehidupan bangsa dan Negara kita untuk dibangun, seletah kelelahan dalam fase panjang kolonialisasi, termasuk juga sendi atau bidang hukum. Meskipun prioritas utama pembangunan adalah pembangunan bidang ekonomi, dengan orientasi utama pembangunan fisik.

Membicarakan mengenai ‘keterpurukan’ hukum di Indonesia khususnya dalam konstruk berfikir filosofi, maka kita tidak bisa melepas diri dari historikal sistem hukum yang kita gunakan saat ini, kita harus melihat kedalaman dari paradigma sistem hukum kita, realitasnya secara kultural dan pagmatis serta political background dari sistem hukum tersebut dan kecenderungan futuristiknya dalam konteks operasionalisasi sistem tersebut dalam dinamika perubahan-perubahan kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Dengan pengertian bahwa titik pandang filosofi kita melihat ‘keterpurukan’ tersebut haruslah bersifat holistik ataupun multisegi dan bahkan mungkin interdispliner, dengan harapan kita dalam ‘melihat’ secara lebih jernih problematika yang sesungguhnya dan tantangan-tantangannya secara lebih sublim. Kita tidak melihat persoalan secara pragmentatif atau sepenggal-penggal.

Pokok persoalan yang harus terjawab, sebelum pembicaraan lebih lanjut, adalah apakah yang kita maksudkan dengan “KETERPURUKAN”? Jelas dari sisi gramatikal keterpurukan akar katanya adalah terpuruk, yang dapat berarti terbenam; tenggelam; terperosok; mundur atau merosot. Secara umum kita bisa member makna kata keterpurukan sebagai suatu situasi yang tidak dikehendaki oleh dirinya sendiri; suatu keadaan negatif dari keadaan yang seharusnya positiv; atau suatu keadaan yang bergerak diluar jalur ideal yang direncanakan.

Untuk memberi pegertian operasional dari kata ‘terpuruk’ dalam hubungannya dengan pelaksanaan sistem hukum kita di Indoneisia dalam tulisan ini, maka kita harus menghadapkan diri pada realitas awal kesejarahan dari sistem hukum yang kita gunakan dan realitas operasional dalam fenomena kekinian penegakan dari sistem tersebut.

Kita memahami bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Sistem hukum campuran ini dalam pengertian ia berfungsi sebagai Ius Constitutum atau hukum yang berlaku dan ia sebagai Ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan. Berlaku maksudnya memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup masyarakat secara keseluruhan. Sistem hukum yang kita anut berjiwa Hukum Positif.

Dari sisi kesejarahan sistem hukum kita di Indonesia bermula dari masa kolonialisasi panjang sejak penjajahan bangsa belanda hingga bangsa jepang. Dari sejarah itu kita mengetahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Kita dapat meringkas sejarah sisitem hukum kita itu dari kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang.

Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang. Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statute Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.

Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942. Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah: 1) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B). Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain: a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan. b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP). c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). d) Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata. Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23. 2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.

Penjajahan Tentara Jepang. Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.

Setelah kita merdeka sebagai bangsa dan lepas dari kolonialisasi, maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik hukum negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara yang mencantumkan politik hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi Negara yang tidak mencantumkan politik hukumnya di Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain.

UUD 1945 tidak mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal ini berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal 102, yang berbunyi: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalm undang-undang sendiri”. Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum yang dikehendaki adalah membentuk suatu hukum tertulis yang dikodifikasi.

Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik hukum yang tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku. Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik hukum maka didalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik Hukum hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum. Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan hukum dapat diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi.

Oleh karena itu kita, kemudian dapat memahami bahwa sistem hukum kita adalah kelanjutan dari narasi sejarah ‘hukum’ kolonial tersebut. Kelanjutan dari semangat, bentuk dan model pelaksanaannya, meskipun kita juga membuat hukum berdasarkan kondisi obyektiv bangsa kita, namun secara sistemik dasar fundamentalnya adalah tetap hukum model eropa. Secara normatif Negara ita masih mengakui sistem hukum adat dan hukum agama (islam), namun hanya menjadi komplementer dari sistem utama hukum nasional kita.

Artinya pengaruh sistem hukum eropa yang di bawah bangsa penjajah belum terhapus jejaknya hingga sekarang dalam kehidupan hukum bangsa kita. Kaum kolonial memang telah meninggalkan secara pisik wilayah jajahannya, namun mereka tidak membawa pergi sebagian ‘semangat’ kehidupan mereka, khususnya semangat kehidupan bidang hukum. Dan semangat itulah yang mungkin sebagian orang dianggap sebagai ‘warisan istimewa’ bagi wilayah jajahan termasuk seperti kita di Indonesia ini, dari bangsa yang dianggap lebih dahulu maju peradabannya atau dianggap lebih tinggi kualitas budaya kehidupannya dari bangsa jajahan.
Menurut Hamdan Soelva, sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. Karena itu, tambahnya, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.
Oleh karena itu kita bisa berkesimpulan bahwa corak sistem hukum yang kita warisi dari saman kolonial adalah hukum yang bersifat positivistik, sebagimana cetakan dasarnya dari Negara eropa. Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang diluar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa fokus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Menurut hemat saya, disinilah awal ‘keterpurukan’ hukum kita, ketika hukum itu semata-mata dipandang sebagai produk dari suatu kekuasaan formal dan memisiahkan secara radikal antara prinsip-prnsip ideal dari moral dengan hukum yang diproduksi secara politis oleh otoritas kekuasaan Negara; saya ingin menyebut ini sebagai Keterpurukan Subtansial.
Keterpurukan subtansial terjadi karena kita mengabaikan sisi sejarah kebangsaan kita yang lain, bahwa bangsa Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang khas sebagai masyarakat bangsa timur yang memiliki corak nilai, sistem dan model kehidupannya sendiri sebelum kehidupan itu diporak-porandakan oleh kolonialisme. Kita sebagai Negara tidak terlalu mempertimbangkan fakta sejarah kehidupan kebangsaan kita sebelum datangnya para bangsa penjajah dari eropa dalam memutuskan sistem hukum apa yang akan kita gunakan setelah tokoh-tokoh pendiri bangsa ini berkonsensus secara politis untuk mendirikan sebuah Negara. Lalu kemudian kita bersepakat untuk menggunakan model hukum eropa untuk mengatur kehidupan masyarakat nusantara, yang dalam ragam karakteristik kehidupannya sangat jauh berbeda dengan masyarakat eropa.
Artinya pilihan akan sistem hukum kita yang berlaku saat ini, dalam prakteknya, menimbulkan gab atau jarak yang lebar dengan karaktristik dan jiwa khas masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki histori pangjang tradisionalitasnya. Tradisional yang saya maksud bukanlah suatu masyarakat yang secara sepihak dicap sebagai masyarakat terkebelakang, tidak maju dalam segala bidang (jika diukur dari masyarakat modern), tidak memiliki paradigma dan semacamnya, dan selalu dipandang subordinat oleh masyarakat maupun ilmuan yang berfikir modern. Tradisional yang saya maksud adalah masyarakat yang secara paradimatik memiliki niali-nilai khas dan sisitem serta model sendiri dalam mengatur atau menjalani kehidupannya sebagai masyarakat manusia. Tradisi jika jika dimahami dia bermakna Ikatan Ke Surga. Sehinga kehidupan masyarakat sangat didominasi nilai-nilai keabadian dan kesejatian yang terdapat dalam keagamaan, etika dan moralitas. Di Indonesia kita banyak menemukan kehidupan tradisional yang jika dikaji secara obyektif dan mendalam sistem kehidupannya, kita akan menemuan suatu sistem nilai, model dan tatanan kehidupan yang dapat ‘diduplikasi’ dengan secara proporsional menyesuaikannya dengan anasir-anasir dari perubahan-perubahan nyata yang terjadi dalam kehidupan kekinian masyarakat.
Yang sangat fundamental dalam Masyarakat tradisional adalah konsep keseimbangan / equilibrium; keseimbangannya terjadi karena mereka tidak memisahkan antara yang ideal dan realitas dalam seluruh tatanan kehidupan manusia; nilai-nilai religius, moralitas dan etika menjadi sandaran utama masyarakat dalam menjalankan kehidupannya; seluruh sistem, model dan formal-formal tata kehidupan mereka dibangun dalam rangka untuk menciptakan keseimbanangan tersebut. Dan terwujudnya keadilan tentu saja akan mewujudkan keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Namun kenyataannya sistem hukum yang kita anut mengambil jarak yang jauh dari karakteristik masyarakat asli Indonesia dan kita telah banyak menyaksikan dampaknya secara nyata dalam kehidupan masyarakat kita baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun dalam rentang waktu formalnya 65 tahun kita telah memperaktekkkan sistem hukum ‘eropa’ dan secara perlahan mengedukasi masyarakat kita secara langsung, namun dalam banyak hal kelihatannya sistem hukum positiv kita telah ‘gagal’ mencapai tujuan idealnya. Pada kenyataannya banyaknya perkara hukum terjadi dikarenakan masyarakat ‘tidak tahu’ hukum, ini karena hukum semata-mata sebagai ‘undang-undang tertulis’ negara diamana masyarakat secara keseluruhan tidak bisa menjangkau isi atau informasi ‘undang-undang’ yang dibuat seragam untuk mereka itu. Hukum bukan sebagai sesuatu yang ada dan hidup ditengah-tengah masyarakat, mereka tidak pernah merasakan hukum kecuali saat terjadi sengketa dan masuk dalam proses peradilan. Inilah jarak yang lebar antara sifat sistem hukum kita dengan sifat dan karakteristik masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Jadi keterpurukan subtansial adalah jauhnya jarak ‘moril’ antara suatu masyarakat dengan sistem hukum yang digunakan oleh Negara untuk mengatur masyarakat tersebut. Jarak ‘moril’ ini adalah perbedaan nilai, motiv, orientasi atau kecenderungan antara masyarakat dengan nilai, motiv, orientasi atau kecenderungan sistem hukum tersebut.
Selain keterpurukan subtansial, penegakan sistem hukum kita juga mengalami Keterpurukan Pragmatis. Keterpurukan pragmatis yang dimaksud adalah situasi aktual yang menggambarkan kegagalan proses sistem hukum dalam mewujudkan tujuan idealnya. Ruang lingkup keterpurukan pragmatis ini adalah proses dari pelakasanaan sistem hukum itu sendiri. Dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keterpurukan pargmatis dari sistem hukum kita, baik pengaruh itu dari sisi internal mapun dari sisi ekternal.
Seperti yang kita ketahui secara teoritis bahwa elemen sistem hukum terdiri atas bebeberapa unsur pokok yakni: struktur, subtansi dan budaya hukum. Ini teorinya Lawrence M Friedman, dia menyebut “Three Elements of Legal System” bahwa terdapat tiga elemen untuk menguraikan hukum sebagai suatu sistem, yaitu: structure, substance dan legal culture. Yang dimaksud dengan structure (struktur hukum) adalah menyangkut setiap institusi yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang hak legislasi sampai dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan yang melalui masing-masing kedudukan dan kewenangannya, berperan sebagai agent for legal change. Kemudian, substance (substansi hukum), yaitu : setiap materi atau bentuk dari peraturan perundang-undangan yang mampu menjaga persatuan bangsa, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghidupkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat luas. Sebuah peraturan hukum harus dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu kebutuhan bersama, bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan. Sedangkan legal culture atau budaya hukum adalah sikap-tindak setiap orang terhadap hukum dan sistem hukum yang menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan bagi orang tersebut.
Sistem hukum kita pada prakteknya merupakan ‘penjelmaan’ dari teori Lawrence M Friedman tersebut. Dan Keterpurukan Fragmatis yang saya maksud berkaitan langsung dengan ketiga unsur sistem hukum yang kita anut (Struktur, subtansi dan kultur hukum) dalam konteks pelaksanaannya.
Sejak orde baru hingga orde reformasi, kita senantiasa berhadapan ‘sinisme’ pandangan masyarakat terhadap penegakan hukum nasional kita. Mungkin hanya segelintir saja yang bisa kita dengarkan nada optimismenya. Saman orde baru misalnya, eksistensi hukum berada dalam cengkaraman politik kekuasaan, sehingga keberadaan hukum dalam proses penegakan sistemnya menjadi ‘melemah’ akibat intervensi politik. Hukum menjadi lumpuh jika berhadapan dengan unsur kekuasaan, bahkan hukum telah sedemikina rupa dijadikan sebagai alat untuk status quo dari kekuasaan.
Gerakan reformasi tahun 1998, yang kemudian menumbangkan Suharto sebagai penguasa orde baru, sempat memunculkan harapan akan terwujudnya kondisi yang lebih baik di negeri ini, termasuk dalam penegakan hukum. Namun harapan itu tetap menjadi harapan yang menggantung dan tinggal hanya sebagai harapan. Tahun 2010, kelihatannya menjadi ‘klimaks’ keterpurukan hukum kita sepanjang sejarah republik ini. Kemunculan perkara-perkara yang bernuansa kolusi, korupsi dan nepotisme telah mencoreng buram wajah proses penegakan hukum di Indonesia, khusunya mencuatnya mega skandal bank century, terbongkarnya penyuapan jaksa urip dalam kasus artalita, terkuaknya pengemplang pajak paling heboh kasus gayus tambunan yang menyeret banyak elit penegak hukum temasuk komisaris jenderal susno duadji. Banyaknya penegak hukum yang terlibat dalam Kasus-kasus dan skandal-skandal hukum tersebut, mulai dari jaksa, hakim, polisi dan advokat, membuat publik terperangah dalam ‘ketidakmengertian’ yang kemudian menimbulkan dampak ketidakpercayaan publik pada mekanisme dan sistem hukum.
Jika dicermati secara seksama dari kasus-kasus hukum besar yang terjadi sepanjang orde reformasi, khususnya 5 tahun belakangan ini, keterpurukan pragmatis penegakan sistem hukum kita di sebabkan oleh hala-hal yang ada di ‘luar’ hukum. Anasir-anasir luar hukum yang dimaksud adalah kepentingan non ideal dari tujuan hukum itu sendiri; kepentingan ini bisa dibawa oleh institusi kepertaian, personalitas yang memiliki power kekuasan formal, para konglomerat dalam lingkungan bisnis, dan orang-orang ‘biasa’ yang tanpa sadar terlibat dalam jejaring yang bersifat konspratif. Dan kalau disimpulkan, kepentingan yang dimaksud itu adalah kepentingan yang bersifat politis dan kepentingan ekonomi.
Banyak pihak yang kecewa, khusunya kepada pemegang amanat pemerintahan tertinggi republik ini, dimana masyrakat telah mempercayakan penegakan keadilan dipundaknya, masyarakat memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap penuntasan kasus-kasus hukum yang berberdamak kerugian besar dalam kehidupan mereka khusunya bagi masyarakat kecil. Seperti ungkapan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Saparringa, bahwa penegakan hukum di Indonesia selama 2010 masih tak bertaring. "Seperti kaki seribu, mukanya seram tapi tidak bisa mengigit, gerbongnya panjang tapi tidak sampai tujuan, kakinya banyak tapi pelan jalannya,". Menurutnya, penegakan hukum saat ini masih sebatas pewacanaan di ruang publik yang indah. "Ketika dihadapkan pada case, dia tidak berjalan lurus tapi kadang berputar-putar. Meskipun wajahnya menakutkan tapi tidak menyengat." Bahwa "Pewacanaan publik tentang korupsi, sangat indah, canggih, dan maju. Kita menemukan perbendaharaan baru tentang korupsi. Pada proses institusinya maju, kita punya KY, Kompolnas. Tetapi, pada tingkat action, menjadikannya sebagai movement, kita punya masalah besar," pungkasnya.
Tanggapan yang kurang lebi sama diungkapkan Laode Ida, pada tahun 2010 ini pemerintah tidak memiliki prestasi dalam penegakan hukum. “Saya nilai tahun 2010 ini merupakan catatan hitam unuk periode pemerintahan SBY,”. Menurut Laode, pada masa saat ini penegakan hukum di Indonesia tidak lebih baik dari masa-masa sebelumnya. “Tahun 2010 boleh dikatakan tidak ada prestasi dibidang hukum,” ucapnya. Menurutnya SBY sebagai pimpinan negara bisa bersikap tegas terhadap pondasi-pondasi penegakan hukum. Namun, bila seperti ini terus Laode pesimis penegakan hukum bisa ada perubahan. “Sudah bisa dipastikan pada tahun 2011 bahkan sampai 2014 tidak akan ada perubahan. Itu prediksi saya,” ucapnya.
Amburadulnya penegakan hukum kita selama ini, jika dilihat dari indikator-indikator kultur penegakan hukum, kita dapat menyebut bahwa Keterpurukan Pragmatis lebih dominan disebabkan karena jebolnya metalitas aparat penegak hukum kita oleh desakan kepentingan non hukum yang berseliweran disekitarnya. Hakim, jaksa, polsi dan advokat tidak mampu menahan hasrat ‘hedonismenya’ akan kemewahan bendawi/duniawi dalam menjalankan fungsi profesinya dalam proses penegakan hukum. Sehingga mereka mudah terjerembab masuk dalam kubangan ‘konpirasi’ yang pada gilirannya akan meruntuhkan wibawah pribadi, institusi dan juga martabat bangsa. Pagar moral dari etika profesi maupun tanggugjawab yuridis yang seharusnya mereka pegang teguh menjadi buyar akibat iming-iming beragam kepentingan yang bukan merupakan kepentingan subtansial dari sistem hukum yang mereka jalankan.
Manusia sebagai pelaksana sistem, dalam konteks ini adalah Penegak Hukum merupakan sumber utama penyebab keterpurukan sistem hukum kita secara pragmatis. Kita menyadari Sistem Hukum bersifat ‘absrtrak’ dan tidak dapat bekerja secara otomatis layaknya sebuah tehnology mekanis, sebab bentuknya berupa ideal hukum yang ter-teks-tualisasi dalam suatu produk perundang-undangan. Manusia sebagai pelaksana sistem itulah yang memiliki peranan fungsional yang menjadi penjamin terwujudnya capaian atau tujuan-tujuan ideal dari sistem tersebut. Maslahnya adalah ketika individu-individu pelaksana sistem itu tidak lagi menjadi bagian terintegrasi secara moril dan mentaliti terhadap keseluruhan harapan sistem, maka ini akan menjadi pangkal terajadi inkonsistensi dan distorsi tujuan-tujuan subtansial dari sisitem, dalam hal ini sistem hokum nasional kita.

Prof. Sajipto Raharjo seringkali mengingatkan kita bahwa Sudah seharusnya hukum itu dibicarakan dalam konteks manusia. Membicarakan hukum yang hanya berkutat pada teks dan peraturan, bukanlah membicarakan hukum secara benar dan utuh, tetapi hanya ”mayat” hukum. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia. Hukum formal adalah hukumnya para profesional hukum. Yang mereka bicarakan adalah ide yang sudah direduksi menjadi teks. Di tangan mereka hukum ”bisa” ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua.

Menurutnya, membangun hukum Indonesia dimulai dari manusianya. Maka kita tidak usah terlalu sibuk memproduksi undang-undang, membangun orde hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan sebagainya. Seperti pada, periode kepresidenan Habibie membanggakan karena mampu mengeluarkan puluhan produk undang-undang. Namun, usaha itu tidak berbanding lurus dengan ketertiban di masyarakat. Undang-undang menumpuk, tetapi persoalan tidak kunjung terselesaikan dengan baik, bahkan kian terpuruk. Hukum lebih merupakan potret dari perilaku kita sendiri. Dan tentang penegakan hukum (enforcement) kita harus bicara tentang perilaku santun dan tertib lebih dulu. Jika kita menyadari hal-hal itu, siasat untuk bangun dari keterpurukan hukum menjadi berubah amat besar. Bukan (tatanan) hukum yang dikutak-katik, tetapi lebih dulu menggarap (perilaku) manusia Indonesia. Kita membutuhkan cara-cara progresif untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan itu. Cara itu adalah dengan mereparasi perilaku buruk manusia Indonesia. Manusia Indonesia perlu diobati lebih dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem dan sebagainya.
Oleh karena itu dalam tulisan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa keterpurukan hukum nasional kita semenjak masa kemerdekaan hingga kini adalah nestapa panjang dari proses kebangsaan dan kenegaraan kita menuju cita-cita idealnya.
Ketrpurukan itu dapat klasifkasi dalam dua kategori utama yakni Keterpurukan Subtansial dan Keterpurukan Pragmatis. Keterpurukan subtansial adalah kondisi atau situasi dimana jarak moril antara sistem hukum yang kita anut secara formal berseberangan dengan kesadaran subtansial atau karakteristik dari masyarakat nusantara yang sebenarnya ‘bersifat’ tradisional, sementara hukum nasional kita mengandung sifat modern. Sementara pembangunan hukum nasional kita dalam segala hal tidak terkelola secara sistematik dan pradigmatik sehingga tetap saja ketimpangan antara ‘kesadaran tradisional’ dan ‘kesadaran modern’ tidak terjembatani secara massif, dan menyisahkan ‘celah’ besar bagi terjadinya keterpurukan hukum secara subtansial.
Sementara keterpurukan pragmatis, terjadi ‘dalam’ sistem hukum nasional itu sendiri, khusunya dalam hal penegakan sistemnya. Pelaksana sistem menjadi sebab utama terjadinya keterpurukan ini, akibat godaan kepentingan lain diluar kepentingan hukum itu sendiri, seperti kepentingan politik dan kepentingan ekonomi. Moralitas dan mentalitas dari para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan advokat, mejadi variabel utama terjadinya ‘kebocoran sistem’ hukum kita. Oleh karena itu pembangunan mentalitas dan moralitas secara personaliti penting menjadi agenda utama bagai semua penegak hukum agar mereka bisa menjadi penjamin bagi kelangsungan kerja ideal dan pencapian tujuan-tujuan subtansial dari sisitem hukum nasional kita.
Kita mungkin sudah jengah dan letih menyaksikan corang moreng wajah penegakan sistem hukum di republik ini, dan sudah saatnya kita sebagai bangsa dan Negara ‘mengakhiri’ kinerja buruk dari sistem hukum yang seharusnya berfungsi dan bekerja dalam jalur-jalur idealnya.


Sumber Bacaan:
1. Diktat Pengantar Hukum Indonesia (Sejarah Hukum), anonym.
2. Laporan Akhir Tahun; Penegakan Hukum Yang Tersandera Politik, Harian Kompas, Edisi Senin 20 desember 2010
3. Wajah Hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, http://www.antikorupsi.org
4. http://www.indowebster.web.id/archive/index.php?t-21732.html
5. http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia/
6. http://hajsmy.wordpress.com/2010/09/15/keterpurukan-hukum/
7. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/motorsport/motogp/racer_bio/index.php?option=com_content&view=article&id=163251:penegakan-hukum-2010-memble&catid=77:fokusutama&Itemid=131
8. http://www.bangkapos.com/2010/12/15/laode-penegakan-hukum-catatan-hitam-untuk-sby-di-2010/