Senin, 03 Januari 2011

Contoh-contoh FUNGSI MANIFEST DAN FUNGSI LATEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

oleh Shaff Muhtamar

I. Fungsi manifest
- Uu no. 30 thn 2002 Tentang komisi pemberantasan korupsi
- Uu no. 2008 thn 2010 tentang pemilihan umum
- Uu no. 21 thn 2008 ttg perbankan syariah
- Uu no. 22 thn 2004 ttg komisi yudisial
- Uu no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
- Uu no. 22 thn 2007 ttg penyelenggara pemilu
- Uu no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
- Uu nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
- Uu nomor 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi
- Uu nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional
- Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional
- Nomor 9 tahun 2008 tentang penggunaan bahan kimia dan larangan penggunaan bahan kimia sebagai senjata kimia
- Uu 012 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan
- Uu no. 14 thn 2008 tentang keterbukaan informasi publik
- Uu no. 44 thn 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas



II. Fungsi laten
- Uu no. 39 TAHUN 1999 Tentang hak asasi manusia
- Uu no. 22/1999 tentang Otonomi Daerah
- Uu no. 25 2009 tentang pelayanan publik
- Uu no. 44 thn 2008 tentang pornografi
- Uu no. 18 tahun 2003 tentang advokat
- Uu no. 11 tahun 2009 tentang informasi dan transaksi elektronik
- Uu no. 12 tahun 2006 tentang kewarkanegaraan
- Uu no. 4 th 2004 tentang kekuasaan kehakiman
- Uu nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
- Uu nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
- Uu nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran
- Uu nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional
- Uu nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
- Uu no. 21 tahun 2000 tentang serikat buruh
- Uu no. 20 thn 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah
- Uu no. 37 thn 2008 tentang ombudsman republik indonesia
- Uu no. 2 thn 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial
- Uu no. 21 thn 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
- Uu no. 25 thn 2007 tentang penanaman modal

PENGERTIAN-PENGERTIAN BEBERAPA KATA PENTING YANG SERING TERKAIT DENGAN HUKUM KENEGARAAN

oleh Shaff Muhtamar

1. PENGERTIAN WEWENANG
Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar mencapai tujuan tertentu.

Ada 2 pandangan mengenai sumber wewenang, yaitu :
1. Formal, bahwa wewenang di anugerahkan karena seseorang diberi atau dilimpahkan/diwarisi hal tersebut.
2. Penerimaan, bahwa wewenang seseorang muncul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok/individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan.

Kekuasaan (power) sering sekali dicampur adukan dengan pengertian wewenang. Kekuasaan itu sendiri memiliki arti sebagai suatu kemampuan untuk melakukan hak tersebut. Ada banyak sumber dari kekuasaan itu sendiri, dan keenam sumber kekuasaan tersebut dapat diringkas sebagai berikut :
1. Kekuasaan balas – jasa.
2. Kekuasaan paksaan.
3. Kekuasaan sah.
4. Kekuasaan pengendalian informasi.
5. Kekuasaan panutan.
6. Kekuasaan ahli.

2. PENGERTIAN HAK
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (krn telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih muda usianya dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah lahir . Tema hak baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM PBB, sedangkan tema kewajiban (bersifat umum) telah lebih dahulu lahir melalui ajaran agama di mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama.
Bisa juga, Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum yang memberikan keleluasaan kepada seseorang untuk melaksanakannya. Kepentingan adalah tuntutan orang atau kelompok yang diharapkan dipenuhi, dijamin dan dilindungi oleh hukum
Pengertian Hak Ketika lahir, manusia secara hakiki telah mempunyai hak dan kewajiban. Tiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, tergantung pada misalnya, jabatan atau kedudukan dalam masyarakat.
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika memaparkan bahwa dalam pemikiran Romawi Kuno, kata ius-iurus (Latin: hak) hanya menunjukkan hukum dalam arti objektif. Artinya adalah hak dilihat sebagai keseluruhan undang-undang, aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum (hukum dalam arti Law, bukan right). Pada akhir Abad Pertengahan ius dalam arti subjektif, bukan benda yang dimiliki seseorang, yaitu kesanggupan seseorang untuk sesuka hati menguasai sesuatu atau melakukan sesuatu(right, bukan law). Akhirnya hak pada saat itu merupakan hak yang subjektif merupakan pantulan dari hukum dalam arti objektif. Hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat. Kewajiban dibagi atas dua macam, yaitu kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain dan kewajiban tidak sempurna yang tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna mempunyai dasar keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna berdasarkan moral.
Macam-Macam Hak
- Hak Legal dan Hak Moral
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak legal ini lebih banyak berbicara tentang hukum atau sosial. Contoh kasus,mengeluarkan peraturan bahwa veteran perang memperoleh tunjangan setiap bulan, maka setiap veteran yang telah memenuhi syarat yang ditentukan berhak untuk mendapat tunjangan tersebut.
Hak moral adalah didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja. Hak moral lebih bersifat soliderisasi atau individu. Contoh kasus, jika seorang majikan memberikan gaji yang rendah kepada wanita yang bekerja di perusahaannya padahal prestasi kerjanya sama dengan pria yang bekeja di perusahaannya. Dengan demikain majikan ini melaksanakan hak legal yang dimilikinya tapi dengan melnggar hak moral para wanita yang bekerja di perusahaannya. Dari contoh ini jelas sudah bahwa hak legal tidak sama dengan hak moral.
T.L. Beauchamp berpendapat bahwa memang ada hak yang bersifat legal maupun moral hak ini disebut hak-hak konvensional. Contoh jika saya menjadi anggota klub futsal Indonesia, maka saya memperoleh beberapa hak. Pada umumnya hak–hak ini muncul karena manusia tunduk pada aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang disepakati bersama. Hak konvensional berbeda dengan hak moral karena hak tersebut tergantung pada aturan yang telah disepakati bersama anggota yang lainnya. Dan hak ini berbeda dengan hak Legal karena tidak tercantum dalam sistem hukum.
- Hak Positif dan Hak Negatif
Hak Negatif adalah suatu hak bersifat negatif , jika saya bebas untuk melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu dalam arti orang lain tidak boleh menghindari saya untuk melakukan atau memilki hal itu. Contoh: hak atas kehidupan, hak mengemukakan pendapat.
Hak positif adalah suatu hak bersifat postif, jika saya berhak bahwa orang lain berbuat sesuatu untuk saya. Contoh: hak atas pendidikan, pelayanan, dan kesehatan. Hak negatif haruslah kita simak karena hak ini terbagi lagi menjadi 2 yaitu: hak aktif dan pasif. Hak negatif aktif adalah hak untuk berbuat atau tidak berbuat sperti orang kehendaki. Contoh, saya mempunyai hak untuk pergi kemana saja yang saya suka atau mengatakan apa yang saya inginkan. Hak-hak aktif ini bisa disebut hak kebebasan. Hak negatif pasif adalah hak untuk tidak diperlakukan orang lain dengan cara tertentu. Contoh, saya mempunyai hak orang lain tidak mencampuri urasan pribadi saya, bahwa rahasia saya tidak dibongkar, bahwa nama baik saya tidak dicemarkan. Hak-hak pasif ini bisa disebut hak keamanaan.
- Hak Khusus dan Hak Umum
Hak khusus timbul dalam suatu relasi khusus antara beberapa manusia atau karena fungsi khusus yang dimilki orang satu terhadap orang lain. Contoh: jika kita meminjam Rp. 10.000 dari orang lain dengan janji akan saya akan kembalikan dalam dua hari, maka orang lain mendapat hak yang dimiliki orang lain.
Hak Umum dimiliki manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimilki oleh semua manusia tanpa kecuali. Di dalam Negara kita Indonesia ini disebut dengan “ hak asasi manusia”.
- Hak Individual dan Hak Sosial
Hak individual disini menyangkut pertama-tama adalah hak yang dimiliki individu-individu terhadap Negara. Negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak yang ia milki. Contoh: hak beragama, hak mengikuti hati nurani, hak mengemukakan pendapat, perlu kita ingat hak-hak individual ini semuanya termasuk yang tadi telah kita bahas hak-hak negative.
Hak Sosial disini bukan hanya hak kepentingan terhadap Negara saja, akan tetapi sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain. Inilah yang disebut dengan hak sosial. Contoh: hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak ata pelayanan kesehatan. Hak-hak ini bersifat positif.
- Hak Absolut
Setelah kita melihat dan membaca mengenai penjelasan hak serta jenis-jenisnya, sekarang apakah ada hak yang bersifat absolut? Hak yang bersifat absolut adalah suatu hak yang bersifat mutlak tanpa pengecualian, berlaku dimana saja dengan tidak dipengaruhi oleh situasi dan keadaan. Namun ternyata hak tidak ada yang absolute. Mengapa? Menurut ahli etika, kebanyakan hak adalah hak prima facie atau hak pada pandangan pertama yang artinya hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan merupakan hak yang sangat penting. Manusia mempunyai hak untuk tidak dibunuh namun ini tidak berlaku dalam segala keadaan tanpa alasan yang cukup kuat. Seseorang yang membela diri akan penyerangan terhadap dirinya memiliki hak untuk membunuh jika tidak ada cara lain yang harus dilakukan. Salah satu contoh lain adalah warga masyarakat yang mendapat tugas membela tanah air dalam keadaan perang. Kedua contoh tersebut adalah contoh dimana hak atas kehidupan yang seharusnya penting dan dapat dianggap sebagai hak absolute namun ternyata kalah oleh situasi, keadaan, alasan yang cukup.
Kebebasan juga merupakan salah satu hak yang sangat penting namun hak ini tidak dapat dikatakan hak absolute karena hak ini juga dapat dikalahkan oleh hak lain. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa dan membahayakan masyarakat sekitarnya dipaksa untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa meskipun ia menolak. Kebebasan yang dimiliki orang tersebut merupakannya namun hak tersebut akhirnya kalah oleh hak masyarakat yang merasa terancam jiwanya.
Hak tidak selalu bersifat absolute karena sesuatu hak akan kalah oleh alasan atau keadaan tertentu lain yang dapat menggugurkan posisi hak tersebut.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hak
3. PENGERTIAN TUGAS

Tugas adala sesuatu yg wajib dikerjakan atau yg ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yg menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yg dibebankan; suruhan (perintah) untuk melakukan sesuatu;

Sumber: http://www.artikata.com/arti-355232-tugas.php
Tugas juga bisa berarti (sesuatu) yg diwajibkan; sesuatu yg harus dilaksanakan; keharusan; pekerjaan; tugas; Huk tugas menurut hukum;

Sumber: http://www.artikata.com/arti-383536-kewajiban.php
4. PENGERTIAN KEWAJIBAN
Kewajiban adalah pembatasan atau beban yang timbul karena hubungan dengan sesama atau dengan negara

Contohnya Kewajiban warga negara Indonesia
- Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan. (pasal 27 ayat (1) UUD 1945)
- Kewajiban membela negara (pasal 27 ayat (3)).
- Kewajiban dalam usaha pertahanan negara (pasal 30 Ayat (1) UUD 1945)

Contohnya Kewajiban negara terhadap warga negara
- Kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil
- Kewajiban negara untuk menjamin HAM
- Kewajiban negara untuk memberikan kebebasan beribadah
- Kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional
- Kewajiban negara untuk memajukan kebudayaan nasional
- Kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat
- Kewajiban negara untuk memberi jaminan dan perlindungan dan perlindungan sosial

Sumber: http://effendy79.blogspot.com/2008/08/hak-dan-kewajiban-hak-adalah.html

5. PENGERTIAN PERINTAH

Perintah adalah perkataan yg bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; suruhan; atau aba-aba; komando; atau aturan dr pihak atas yg harus dilakukan.

Berikut ini kata-kata yang berkeaan dengan perintah:
me•me•rin•tah 1 memberi perintah; menyuruh melakukan sesuatu: 2 menguasai dan mengurus (negara, daerah, dsb): me•me•rin•tahi v 1 memberi perintah kpd: kerjanya hanya ~ jongos-jongos; 2 membawahkan: lebih senang ~ orang pandai-pandai dp ~ orang bodoh; Raja Palembang yg bernama Demang Lebar Daun ~ daerah itu;
me•me•rin•tah•kan 1 menyuruh orang lain melakukan sesuatu; menyuruh mengerjakan: Pangeran Diponegoro telah ~ penghentian tembak-menembak; 2 memerintah; mengelola: ia tidak dapat lagi ~ daerah perkebunan yg selalu diganggu gerombolan bersenjata;
ter•pe•rin•tah v diperintah; dikuasai: bangsa itu lama ~ oleh kekuasaan asing;
pe•me•rin•tah n 1 sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya; 2 sekelompok orang yg secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan; 3 penguasa suatu negara (bagian negara): ~ negeri dimisalkan pengemudi negara; negara memerlukan ~ yg kuat dan bijaksana; 4 badan tertinggi yg memerintah suatu negara (spt kabinet merupakan suatu pemerintah): beberapa anggota DPR meminta supaya ~ segera menyerahkan rancangan undang-undang itu ke DPR; jawaban ~ dibacakan oleh Menteri Dalam Negeri; 5 negara atau negeri (sbg lawan partikelir atau swasta): baik sekolah ~ maupun sekolah partikelir harus dibangun tiga tingkat; 6 pengurus; pengelola: ~ perkebunan dan tambang;
~ bayang-bayang pemerintah yg disusun dan disiapkan untuk melakukan tugasnya jika diperlukan; ~ bayangan kelompok rahasia yg dituduh membuat kebijakan umum, kelompok ini tidak dapat dikritik oleh rakyat ataupun dibatalkan (ditarik kembali) oleh para pemilih; ~ berdaulat sekelompok orang yg bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk mempertahankan kesinambungan nasional yg otonom; ~ daerah penguasa yg memerintah di daerah, spt gubernur, bupati; ~ defacto pemerintah yg berkuasa atas rakyatnya dan diakui pula oleh rakyatnya; ~ desa pemerintah terendah langsung di bawah pimpinan kepala desa atau lurah yg menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dan terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa; ~ kesatuan sistem politik dl seluruh kekuasaan yg dipusatkan pd pemerintah nasional; ~ kolonial pemerintah yg dibangun di bawah inspirasi filsafat merkantilisme yg tercermin dl pemerintahan wilayah yg diduduki; ~ nasional bentuk pemerintahan suatu negara yg diatur oleh bangsa negara itu sendiri; ~ pusat penguasa yg bertugas di pusat, melingkungi seluruh pemerintah daerah; ~ sendiri pemerintah yg melibatkan partisipasi warga negara melalui sistem pemilihan dan perwakilan;
pe•me•rin•tah•an n 1 proses, cara, perbuatan memerintah: ~ yg berdasarkan demokrasi; gubernur memegang tampuk ~ di Daerah Tingkat I; 2 segala urusan yg dilakukan oleh negara dl menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara;
~ daerah pemerintahan yg mewakili pemerintah pusat di daerah dl wilayah suatu negara; ~ kembar dua pemerintahan bersama-sama menguasai suatu daerah; ~ negara segala bentuk mekanisme, daya upaya, dan proses lembaga negara dl menentukan, merumuskan, mengatur, dan mengusahakan tercapainya tujuan negara; ~ oligarki sistem pemerintahan yg ketiga kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan beberapa orang atau golongan; ~ otokrasi sistem pemerintahan negara yg ketiga kekuasaan pemerintahan berada dl satu tangan, msl pd kerajaan absolut; ~ otoriter pemerintahan yg didasarkan kekuasaan mutlak; ~ presidentil pemerintahan republik yg kepala negaranya langsung memimpin kabinet; ~ sementara pemerintahan setelah jatuhnya suatu kabinet sampai terbentuknya kabinet baru; ~ sentral pemerintah pusat (terdapat di ibu kota negara yg tidak selalu terletak di tengah-tengah wilayah negara dsb); ~ sipil pemerintahan yg dipegang oleh orang-orang sipil (bukan pemerintahan militer);
ber•pe•me•rin•tah•an v memiliki pemerintahan; ada pemerintahan

Sumber: http://www.artikata.com/arti-344810-perintah.php

6. PENGERTIAN LARANGAN

Larangan bisa berarti:
1. Perintah (aturan) yg melarang suatu perbuatan:
2. Sesuatu yg terlarang krn dipandang keramat atau suci:
3. Sesuatu yg terlarang krn kekecualian:

Sumber: http://www.artikata.com/arti-369963-larangan.php

7. PENGERTIAN SANKSI

Sanksi dapat berarti :
1 Tanggungan (tindakan, hukuman, dsb) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan 1022 undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan dsb); 2 Tindakan (mengenai perekonomian dsb) sbg hukuman kpd suatu Negara; 3 Huk a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dl hukum; b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dl hukum; kalau ber•sank•si berarti memiliki kekuatan hukum dalam melakukan tindakan atau menerapkan sanksi; ada sanksinya

Sumber: http://www.artikata.com/arti-349017-sanksi.php


8. PENGERTIAN KEBOLEHAN

Kebolehan akar katanta adalah ‘Boleh’, sementara 'boleh' dapat berarti: Diizinkan; tidak dilarang; Dapat; beroleh; mendapat

Kata-kata yang berkaitan sebagaiberikut;
mem•bo•leh•kan artinya memperbolehkan;
bo•leh•an artinya bagus; bermutu; bernilai;
mem•per•bo•leh•kan berarti memberi kesempatan (keleluasaan); mengizinkan;
ke•bo•leh•an artinya kepandaian; kemampuan; kebisaan:
se•bo•leh-bo•leh•nya artinya sedapat-dapatnya;

Sementara 'kebolehan' dapat diartikan sebagai kepandaian; kemampuan; kebisaan;

Sumber: http://www.artikata.com/arti-322235-boleh.php

9. PENGERTIAN KEDUDUKAN

Kedudukan dapat berarti :
1. Tempat kediaman;
2. Tempat pegawai (pengurus perkumpulan dsb) tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya;
3. Letak atau tempat suatu benda;
4. Tingkatan atau martabat;
5. Keadaan yg sebenarnya (tt perkara dsb;
6. Status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara, dsb);

Sumber: http://www.artikata.com/arti-362920-kedudukan.php
10. PENGERTIAN JABATAN
Kata jabatan mempunyai beberapa pengertian dan konotasi. Staf Balai Pembinaan Administrasi UGM dalam Ensiklopedi Administrasi memberikan definisi jabatan dengan : ”Sekumpulan dari tugas dan tanggung jawab yang dibebankan oleh seorang pejabat yang bersangkutan kepada seseorang baik untuk waktu yang penuh maupun sebagian”.

Komarudin (dalam buku Ensiklopedia Managemen) menerjemahkan kata jabatan dari occupation dengan definisi : ”Kedudukan yang menetapkan tugas, wewenang,hak dan tanggung jawab yang melekat pada seorang pekerja dalam suatu satuan organisasi”.
Pengertian jabatan yang dapat di tarik dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal 17 ayat (1) adalah ”Kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang karyawan dalam rangka susunan satuan organisasi”.
Untuk mengetahui pengertian yang lebih luas mengenai jabatan dalam Kamus Jabatan Nasional perlu dikemukakan istilah-istilah yang ikut memberikan penjelasan,yaitu :
1. Unsur atau elemen, ialah komponen yang terkecil suatu pekerjaan, misalnya memutar, menarik, menggosok,dan mengangkat.
2. Tugas atau task, ialah sekumpulan unsur yang merupakan usaha pokok yang dikerjakan karyawan dalam memproses bahan kerja menjadi hasil kerja dengan alat kerja dan dalam kondisi jabatan tertentu.
3. Pekerjaan atau job, adalah sekumpulan kedudukan yang memiliki persamaan dalam tugas-tuigas pokoknya dan berada dalam satu unit organisasi.
Jabatan atau occupation adalah sekumpulan pekerjaan yang berisi tugas-tugas pokok yang mempunyai persamaan, dan yang telah sesuai dengan satuan organisasi.
Sumber: http://seoulmate.dagdigdug.com/pengertian-jabatan-kah-ini/

11. PENGERTIAN FUNGSI

Menurut kamus bahasa Indonesia (2003;332) fungsi didefinisikan sebagai :
1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan
2. Kegunaan suatu hal
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi memiliki arti pekerjaan dan pola perilaku yang diharapkan dalam manajemen dan ditentukan berdasarkan status yang ada padanya.
Sumber: http://pengertian.blogspot.com/pengertian-fungsi/

MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA ERA REFORMASI (Memahami Dinamika MPR Pasca Perubahan UUD 1945)

oleh: Shaff Muhtamar

BAB I
PENDAHULUAN

Ikhtiar bangsa Indonesia untuk merealisasikan demokrasi dan mewujudkan tatanan kenegaraan dan kemasyarakatan yang lebih baik antara lain dengan dilaksanakannya reformasi konstitusi Indonesia (constitusional reform) yaitu perubahan Undang‐Undang Dasar 1945 dalam empat tahapan yang ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, Sidang Tahunan MPR tahun 2000, 2001 dan 2002.

Reformasi konstitusi sebagai salah satu agenda utama reformasi Indonesia yang bergulir pada tahun 1998 telah menguatkan demokrasi dan membawa perubahan dalam tatanan kenegaraan dan kemasyarakatan melalui penataan ulang lembagalembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, serta pengaturan secara lebih tegas jaminan terhadap hak‐hak konstitusional warga negara.

Di antara perubahan penting dan mendasar dalam reformasi konstitusi adalah yang terkait dengan MPR, dimana ditegaskan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,” diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐Undang Dasar.”

Implikasi dari penegasan pelaksanaan paham kedaulatan rakyat yang tidak lagi sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat, maka MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, pembuat GBHN, tetapi menjadi lembaga negara yang kedudukannya setara dengan lembagalembaga negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan Undang Undang Dasar juga menghasilkan ketentuan yang baru terkait tugas dan kewenangan MPR, antara lain MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan Garis‐garis Besar daripada Haluan Negara. Meskipun kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, namun tugas dan kewenangan MPR saat ini tetap yang tertinggi terkait dengan hal yang sangat fundamental dalam negara yaitu konstitusi negara, hukum dasar yang menjadi sumber rujukan bagi seluruh peraturan perundanganundangan di bawahnya.
Hanya MPR yang diberi kewenangan menetapkan maupun merubah Undang‐Undang Dasar, bahkan Pimpinan MPR diberi tugas untuk memasyarakatkannya. Tugas dan wewenang MPR diatur secara limitatif dalam Pasal 3 dan Pasal 8 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa MPR berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang‐Undang Dasar, MPR juga tetap terkait dengan hal yang tertinggi dalam kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. UUD NRI 1945 tetap memberi wewenang bagi MPR untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, bahkan UUD NRI 1945 secara eksplisit memberikan hak bagi MPR memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden berhalangan tetap, memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.

Keanggotaan MPR masa jabatan 2004‐2009 juga berbeda dengan masa jabatan sebelumnya, karena MPR sekarang semua keanggotannya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, tidak ada lagi yang ditunjuk. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Kenggotan MPR dari unsur DPR mencerminkan perwakilan politik (political representative) dan keanggotaan MPR dari unsur DPD mencermikan perwakilan daerah (regional representative). Atas dasar hal tersebut maka MPR adalah lembaga yang konstitusional, bersifat permanen, dan mempunyai kedudukan, susunan keanggotaan, tugas dan kewenangan yang berbeda dengan lembaga lembaga negara lainnya.

Sekalipun sama dengan DPR dan DPD di mana pimpinannya tidak ditentukan dalam UUD NRI 1945, demikian juga Pimpinan MPR. Keberadaan MPR sebagai lembaga parlemen adalah suatu yang unik dan khas dalam sistem ketatanegaran Indonesia yang membedakan dengan sistem ketatanegaraan negara yang lain. Tetapi mulai MPR Periode 2004 – 2009 jugalah MPR menjadi satu–satunya lembaga negara yang keanggotaannya melibatkan sekaligus keanggotaan dari 2 (dua) lembaga yang lain, yaitu DPR dan DPD.



BAB II
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

2. 1 Kekuasaan Penyelenggaraan Negara
Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Repub¬lik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menye¬butkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

UUD 1945 mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang tercermin da¬lam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaula¬tan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubun¬gan internasional. Disamping mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia.

Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya dior¬ganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Selama ini, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan peme¬gang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].

Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.

2. 2. Pembagian Kekuasaan Negara
Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi].

Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prin¬sip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD. Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.

Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD [Pasal 1 ayat (2)]. UUD 1945 salah satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercer¬min pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system.
Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Saat ini lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presi¬den, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adanya perubahan terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa imp-likasi pada hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas. Pada kesempatan ini, saya hanya akan menyampaikan mengenai tugas dan fungsi MPR yang dengan perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan tugas lembaga negara lainnya. Sedangkan tugas dan fungsi lembaga negara lainnya selain MPR akan disampaikan dalam bentuk pola hubungan antar masing-masing lembaga.

2. 3. Tugas dan Fungsi MPR
Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR. Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah: 1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; 2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; 3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar; 4) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; 5) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersa¬maan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

2. 4. Hubungan MPR, DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pe¬mahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.

Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.

Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR. Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. 5. Peran MPR Pasca Perubahan UUD 1945
Peran MPR pasca perubahan Undang-Undang Dasar dapat dilihat dari sikap MPR terhadap adanya wacana perubahan kembali UUD 1945 serta upaya MPR dalam menegakkan kehidupan berkonstitusi di negara kita. Berkembangnya pendapat terkait dengan adanya wacana tentang Perubahan UUD NRI Tahun 1945, oleh Pimpinan MPR dipandang sebagai bentuk kedaulatan rakyat, HAM dan partisipasi publik dalam hal menyampaikan aspirasi dan kepentingan bagi kemajuan dan koreksi dalam hal penyelenggaraan negara yang mengedepankan kepentingan publik.

Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah dan me¬netapkan UUD NRI Tahun 1945, MPR memandang bahwa agenda untuk melakukan perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 dapat dilakukan setiap saat, tetapi tetap dengan mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai pe¬rubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 mencantumkan klausul yang memberi peluang dilakukannya perubahan. Hal ini sejalan dengan pandangan, bahwa konstitusi dibuat untuk kepentingan kehidupan manusia, bukan sebaliknya manusia untuk konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi dimaksud untuk memudahkan suatu bangsa dalam melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

MPR selalu menyikapi aspirasi masyarakat khususnya mengenai usulan peruba¬han kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini, baik usulan yang berasal dari anggota MPR maupun dari kalangan lain, termasuk dari Dewan Perwakilan Daerah beberapa waktu yang lalu (usul tanggal 8 Juni 2006 dan usul tanggal 10 Mei 2007). Tanggapan MPR terkait usul DPD yang diajukan tanggal 10 Mei 2007, maka sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa MPR mempunyai kewenangan untuk mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar 1945. Terkait dengan usul perubahan pasal 22 D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Kelompok DPD, maka sesuai ketentuan yang ada sebagaimana tertuang dalam Peraturan Tata tertib MPR telah dilakukan beberapa kegiatan Pimpinan MPR sebagai salah satu alat kelengkapan MPR sesuai dengan batas-batas kewenangannya, kegiatan Pimpinan MPR dalam rangka mengagendakan usaha tersebut antara lain meliputi Rapat Pimpinan, Rapat gabungan Pimpinan MPR dan Pimpinan Fraksi, dan pertemuan dengan beberapa pakar/ahli tatanegara. Rapat dan pertemuan dimaksud dilakukan oleh pimpinan dalam rangka melakukan penilaian terhadap usul perubahan yang diajukan oleh Kelompok DPD untuk mendapatkan masukan dan telaahan secara komprehensif terkait dengan usul perubahan tersebut.

Berkembangnya pendapat di masyarakat mengenai kelemahan terhadap hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945, baik kritikan terhadap materi ataupun praktek penyelenggaraannya yang cenderung dipandang multi-interpretasi terutama dalam hal hubungan antar lembaga Negara dapat kami sampaikan bahwa sebenarnya UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa fungsi dan kedudu¬kan lembaga sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system. Mengenai banyaknya persoalan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, hal tersebut lebih cenderung pada belum adanya kesamapahaman terhadap seluruh ketentuan yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945.

Peran MPR lainnya dapat dilihat dalam upayanya meningkatkan pemahaman berkonstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pelaksanaan Un¬dang-Undang Dasar 1945 secara konsisten dan konsekuen oleh seluruh komponen bangsa, jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Untuk memperoleh pemahaman tersebut, kegiatan pemasyarakatan (sosialisasi) Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting. Mengingat pentingnya sosialisasi dan dalam rangka pelaksanaan salah satu tugas Pimpinan MPR yang diamanatkan Pasal 8 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yakni melaksanakan dan memasyarakatkan putusan MPR, Pimpinan MPR telah membentuk Tim Kerja Sosialisasi Putusan MPR yang anggotanya berjumlah 70 orang, terdiri atas unsur Fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota DPD di MPR yang ditugasi untuk menyusun materi dan metode, serta melaksanakan sosialisasi putusan MPR.

Memasyarakatkan atau lebih dikenal dengan istilah sosialisasi putusan MPR tersebut, selain merupakan perintah undang-undang, juga dipandang penting karena walaupun MPR telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan peninjauan Ketetapan MPRS dan MPR, yang merupakan putusan MPR terpenting, namun hingga saat ini masih banyak masyarakat termasuk para pengambil keputusan di negara ini, belum memahami dengan baik UUD NRI 1945. Padahal kualitas kehidupan bernegara jelas sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengamalan penyelenggara negara dan warga masyarakat atas konstitusinya.
Dalam kaitan inilah, sosialisasi putusan MPR dilaksanakan ke berbagai kalan¬gan masyarakat, termasuk di kalangan pejabat negara dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, para dosen dan guru, termasuk pelajar SMA juga melalui TOT, siaran langsung dan dialog interaktif di TVRI dan RRI untuk menginformasikan dan memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh mengenai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta kedudukan, status hukum, dan masa depan Ketetapan MPRS/MPR.


BAB. III
PENUTUP

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan seba¬gai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya.

Berubahnya kedudukan MPR memang sering diartikan salah baik yang terkait dengan eksistensi lembaga maupun Pimpinan MPR, ia juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. Sebagai lembaga negara yang mempunyai eksistensi dalam sebuah bangunan negara, MPR secara konstitusional diberikan fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3), dan Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun sebatas yang tercantum dalam pasal-pasal dan ayat-ayat itu, fungsi dan kewenangan MPR sekarang, substansinya adalah menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara. Sebagai contoh adalah adalah we¬wenang MPR dalam hal terjadinya impeachment yang tentu saja memperkuat sistem presidensial kita. Dengan demikian perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tidak berarti menghilangkan eksistensi MPR dan Pimpinannya serta peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR masih mempunyai peran penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran keseha¬rian MPR lainnya juga terlihat dari upaya MPR mengelola setiap wacana usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan peningkatan pemahaman konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sosialisasi UUD NRI 1945.

Perubahan konstitusi seharusnya membawa bangsa ini berjalan tegap ke depan. Semua pihak dituntut melangkah maju dan berpikir secara rasional dalam mencari jalan keluar bagi berbagai persoalan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dengan perubahan UUD 1945 Indonesia memasuki barisan negara-negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga perwakilannya.

Upaya Amandemen lagi secara komprehensif terhadap Konstitusi Negara den¬gan penegasan tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, mempertahankan Dasar Negara Pancasila, mempertahankan Pasal 29 UUD 1945, mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan dengan mempertegas Sistem Bikameral dan Sistem Pe¬merintahan Presidensial merupakan bagian jalan keluar dalam mengatasi persoalan carut marutnya sistem ketatanegaraan nasional secara konstitusional.

Sistem bikameral yang efektif akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah dapat terjembatani secara efektif dengan kebijakan di tingkat pusat. Pemberdayaan DPD bukan masalah perebutan kekuasaan atau kepentingan elit politik, tetapi ada¬lah untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat.

Struktur keparlemenan Indonesia dapat dikatakan unik karena sistemnya yang berbeda dan tidak ditemukan kesamaannya di negara lain. Lembaga legislatif yang terdiri dari MPR, DPR, dan DPD merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Hal ini hendaknya menjadikan Indonesia bangga karena menemukan sendiri nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri. Konsepsi parle¬men saat ini yang paling penting adalah bagaimana memberdayakan kewenangan masing-masing lembaga agar dapat bekerja secara efektif untuk pembangunan masyarakat yang lebih baik.

Memang harus diakui bahwa walaupun UUD 1945 telah melalui empat kali tahapan perubahan, masih ada substansi mengenai kewenangan masing-masing lembaga negara yang masih perlu disempurnakan. Namun amatlah bijaksana apabila setiap lembaga mampu bekerja secara optimal dengan segala kewenangan yang dimiliki.

Di samping itu, hal yang diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan ber¬bangsa dan bernegara adalah dapat terciptanya stabilitas keamanan dan mampu menjalankan hidup dengan lebih baik, terciptanya situasi politik yang kondusif, responsif dan akomodatif dimana para wakil rakyat yang duduk di lembaga MPR, DPR dan DPD diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat guna mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.



DAFTAR PUSTAKA


Laporan Kinerja Pimpinan MPR RI Masa Jabatan 2004-2009
Dr. (HC) AM. Fatwa, Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan, JURNAL MAJELIS , Vol. 1 No.1. Agustus 2009 , Jakarta.
Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A., Tugas, Wewenang, dan Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945, JURNAL MAJELIS , n Vol. 1 No.1. Agustus 2009, Jakarta.
HM. Aksa Mahmud , Komposisi Keterwakilan MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945, JURNAL MAJELIS, n Vol. 1 No.1. Agustus 2009, Jakarta.
Dr. BRA. Mooryati Sudibyo, MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan), JURNAL MAJELIS, n Vol. 1 No.1. Agustus 2009, Jakarta.
Prof.Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia, JURNAL MAJELIS, n Vol. 1 No.1. Agustus 2009, Jakarta.