Senin, 27 Desember 2010

ANALISIS ATAS BEBERAPA POSTULASI PENTING DALAM HUKUM (Yakni Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat, Kemanfaatan Dan Keadilan, Kebaikan Bers

Shaff Muhtamar

Kehidupan masyarakat manusia tidak bisa dipisahkan dengan suatu sistem hukum. Hukum telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, baik dalam konteks hukum itu sebagai aturan yag tertulis maupun sebagai suatu ‘kebiasaan ’ dari kiadah yang tak tertulis. Ada adigium klasik yang sering kita dengar menyebutkan bahwa ‘dimana ada masyarakat disitu ada hukum’ ; artinya tidak ada satu keberadaan masyarakatpun tanpa didalam kehidupannya terdapat hukum, masyarakat adalah ‘tempatnya’ hukum bisa tumbuh dan berkembang; bisa juga dikatakan hukum hanya bisa ‘eksis’ dalam tubuh masyarakat.

Dan dari banyak teori mengenai hukum yang ditulis oleh para ahli, baik dalam arus pemikiran Barat maupun Timur; hukum dikategorikan sebagai salah satu dari ilmu pengetahun yang tersangkut-paut dengan dinamikan kehidupa sosial masyarakat. Atau dapat dikatakan bidang hukum adalah bagian dari ilmbu sosial. Karena hukum terkait dengan ilmu sosial maka variable utamanya adalah masyarakat sebagai keseluruhan sistem, baik dari sisi perilakunya, ide-ide atai pemikiran masyarakat, dan praktek-praktek kehidupannya dalam segala bidang kehidupan.

Dalam konteks keseluruhan sistem kemasyarakatan tersebut, hukum masuk sebagai bagian dari keseluruhan, yang memiliki fungsi tertentu dalam dinamika kehiduapan masyarakat tersebut. Hukum sebagai bagian dari masyarakat tentu memiliki maksud-maksud, tujuan-tujuan dan atau misi-misi tersendiri bagi keberadaan suatu masyarakat.

Dari aliran-aliran teoritis hukum yang ada kita diperhadapkan pada masalah-masalah penting terkait dengan ideal-ideal dari hukum tersebut, antaralain misalnaya:
- Bagaimana hubungan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dalam konteks hukum?
- Sejauhmana kemanfaatan itu berkolerasi dengan keadilan?
- Deskripsi mengenai perbedaan dan atau persamaan dari tujuan bersama/kebaikan bersama dengan rasa keadilan itu?

Untuk itu, dalam ‘esei’ sederhana ini sebagai tugas matakuliah Filsafat Hukum, coba untuk di analisis secara deskriptif mengenai tiga masalah tersebut diatas, untuk mengetahui sejauhmana hal-hal tersebut memiliki nilai penting baik dalam konteks hubungannya sata sama lain maupun pertentangannya satu sama lain.

I. Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat

Dalam ilmu-ilmu sosial konsep mengenai individu dan masyarakat dikenal sangat luas. Sebagai konsep tentu lahir berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Dan juga dalam keseharian kita dapat dengan muda membedakan manusia sebagai idnividu dan manusia sebagai masyarakat. Bahwa dalam kehidupan sejarah manusia, dapat dikatakan bahwa kehiduapan itu terdiri atas kehidupan individual dan kehidupan masyarakat. Sehingga banyak dari ilmuan kemudian membuat klasifikasi mengenai Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.

Roscoe Pound (1870-1964) miasalnya, memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (“Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat”). Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
a. Kepentingan Umum (Public Interest)
1. Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
2. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b. Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2. Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3. Pencegahan kemerosotan akhlak
4. Pencegahan pelanggaran hak
5. Kesejahteraan sosial.
c. Kepentingan Pribadi (Private Interest)
1. Kepentingan individu
2. Kepentingan keluarga
3. Kepentingan hak milik.

Pada akhirnya, menurut hemat penulis, bahwa kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah dua variabel penting yang harus mendapat perhatian dalam hukum, mengingat kedua variabel itu ada dalam eksistensi kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar tidak terjadi ‘benturan’ antara dua jenis kepentingan tersebut maka ‘jalur’ hukum bisa menjadi alat untuk mengatur beragam kepentiingan yang ada dan berkembang dalam keseharian kehiduapan kita sebagai manusia.

Tanpa ada suatu mekanisme yang ‘menertibkan’ lalulintas kepentingan manusia ini, maka mungkin saja akan selalu terjadi kegoncangan sosial yang bisa mengarah pada chaos sosial terus-menerus, sebab ‘kepentingan’ salah satu elemen penting dari manusia dan oleh karena itu selalu ada dalam dirinya. Oleh karena itu, hukum dalam konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik dia sebagai individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.

Namun penting untuk dipertanyakan; manakah diantara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat ini yang memiliki nilai paling menentukan sehingga senantiasa harus didahulukan pembelaan hukum atasnya? Manakah yang paling menentukan suatu perubahan atau capaian dari tujuan kehidupan manusia diantara kedua kepentingan tersebut, yang jika diabaikan akan membuat kehidupan ini ‘tak berdaya’?


II. Kemanfaatan dan Keadilan

Sebagaimana halnya kepentingan individual dan kepentingan masyarakat tersebut diatas, dalam teori hukum, khususnya menyangkut tujuan hukum, juga terdapat beragam aliaran-aliran pemikiran yang masing-masing berbeda menurut latar filsufis dan background sosial dari pengamatan para ahli. suatu hukum yang baik setidaknya, menurut para ahli, harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan.
Antara Kemanfaatan dan Keadilan, jika ditimbang-timbang secara rasional dan emosional, kelihatannya keduanya ibarat dua sisi mata uang, atau secara natural keduanya ibarat matahari dan sinarnya; keduanya saling mengidentifikasi satu sama lain, tidak saling melengkapi tetapi saling menyambungkan makna atas keduanya, seperti yang biasa disebutkan oleh Prof. Abrar bahwa “kalau dia adil pastilah bermanfaat, dan kalo dia bermanfaat pastilah adil”. Artinya kedua hal tersebut tidak terpisah secara pragmatis namun menyatu secara maknawi.

Oleh sebab itu oleh bebrapa ahli telah menunjukkan secara kuat bahwa tujuan hukum selain untuk Keadilan tetapi juga untuk kemanfaatan. Dan penting untuk kita mengutip gagasan Aristoteles mengenai keadilan ini, untuk member kita gambaran tentang apa yang akan dituju oleh hukum tersebut jika tujuannya adalah untuk keadilan.
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil (ada yang membaginya menjadi keadilan distributif dan keadilan komulattif).
Atau dalam pengertian lain, keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan menurut Geny tidaklah ada artinya sama sekali.
Secara umum kita bisa mengambil titik simpul bahwa keadilan itu merupakan tindakan dalam segala perpektifnya baik moral, etik, maupun religius, yang merupakan titik imbang dari dua kutub yang bertentangan secara ekstrim. Keadilan merupakan tindakan moril, tindakan etik ataupun tindakan religius.
Sementara Kemanfaatan merupakan akibat logis dari suatu tindakan yang bermotif baik, atau nilai guna dari tindakan pragmatis yang dilakukan manusia atas dasar pertimbangan-pertibangannya untuk sesuatu yang baik. Kemanfaatan selalu berkolerasi dengan kebaikan rasional, etika dan keagamaan. Sesuatu dikatakan bermanfaat jika suatu tindakan yang telah dilakukan dampaknya dapat dirasakan ‘menguntungkan’ bagi kemanusiaan para pihak yang terkait dengan tindakan tersebut, baik dalam konteksnya sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam sinergisitas antara tujuan hukum dalam keadilan dan kepastiannya dalam pelaksanaan hukum tersebut. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindungi dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
Antara kemanfaatan dan keadilan sebagai cita-cita hukum, maka sejatinya kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan dalam suatu proses pragmatis hukum. Artinya hukum jangan terlalu ekstem hanya berkutat pada keadilan sebagaimana yang dikehendaki hukum, atau keadilan procedural, namun juga tidak boleh mengabaikan dimensi-dimensi ideal dari apa yang tidak tertulis dalam undang-undang atau suatu peraturan.
Dalam hal ini, dimensi kemanfaatan, juga harus menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan hukum atau dalam suatu penegakan peraturan perundang-undangan. Jika telah dipahami bahwa antara kemanfaatan dan keadilan adalah dua hal yang semakna, maka adalah baik jika keadilan yang menjadi tujuan hukum juga mengandung nilai manfaat, dan atau sebaliknya jika hukum berorientasi pada kemanfaatan maka juga harus mengandung nilai keadilan.
Namun seringkali dalam kenyataannya, kedua hal tersebut tidak berjalan beriringan; bahwa banyak dari putusan pengadilan yang jika diteliti dan dilihat dampaknya sebenarnya tidak menimbulkan manfaat yang sesungguhnya, namun keputusan itu disebut ‘adil’ karena merupakan keputusan hakim.
Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya.
Oleh karena itu banyak kalangan menghendaki memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

III. Kebaikan Bersama Dan Rasa Keadilan

Masalah pokok yang juga sering manjadi pokok pemikiran dalam ilmu ataupun teori hukum adalah tentang Kebaikan Bersama dan Rasa Keadilan. Secara umum, antara kebaikan bersama dan rasa keadilan, jika dipandang sepintas kelihatannya tidak memiliki hubungn sama sekali, sebab dari redaksi atau kata dari keduanya menunjuk pada ‘makna yang berbeda’.

Menyangkut kebaikan bersama, sebagaimana dengan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa jika ada kebaika bersama maka juga pasti ada kebaikan personal, menginngat masyarakat itu tidak hanya terdiri dari kumpulan individu (bersama) tetapi juga individu-individu yang bersifat personal.

Jika dikaji lebih lanjut, kebaikan bersama dapat dimaknai sebagai ‘harapan nilai baik yang dikenedaki oleh mayoritas atau orang banyak dalam suatu masyarakat’. Ada harapan yang dikehendaki bersama oleh suatu lapisan masyarakat, harapan itu tentulah menyangkut nilai-nilai kebaikan, kebaikan yang bersifat universal. Kebaikan yang dimaksud tentunya bertalian dengan harapan-harapan ideal dari kemanusiaan masyarakat itu sendiri, misalnya harapan akan kebahagiaan jasmania dan kebahagiaan rohania.

Artinya kebaikan bersama ini adalah kebaikan yang dikehendaki oleh pada umumnya orang yang ada dalam suatu masyarkat tanpa mengurangi nilai atau subtansi dari kebaikan-kebaikan individual, karena bisa jadi juga kebaikan bersama ini merupakan akumulatif dari kebaikan-kebaikan yang besifat personal.

Sementar mengenai rasa keadilan, kita bisa misalnya merujuk pada gagasan islam tentang keadilan. Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia.

Keadilan adalah satu sisi, dan rasa keadilan adalah sisi lain. Jika kita bersandar pada perspektif islam tersebut mengenai keadilan yang mensyaratkan hukum itu harus mencipatakan dan memelihara maslahat umat manusia, maka kita dapat memaknai bahwa antara keadilan dan rasa keadilan itu bukanlah dua hal yang berbeda, keduanya adalah satu kesatuan yang memang tak terpisah.

Namun berlaian dengan apa yang kita sering saksikan dalam keseharian kita sebagai masyarakat Indonesia dengan sistem hukum positivnya; seringkali kita menyaksikan penomena penegakan hukum yang secara terang ‘memisahkan’ antara suatu keadilan dalam suatu putusan hakim dengan ‘keinginan keadilan’ yang berkembang dalam masyarakat. Atau sering dinamakan keadilan hakim merupakan juga rasa keadilan namun bersifat subyektif, sementara ‘diaggap’ bahwa rasa keadilan masyarakat adalah rasa keadialan yang obyektif. Tentu saja ini sangat debatable mengenai obyekti atau subyektifnya rasa keadilan, baik oleh para hakim maupun dalam masyarakat.

Dan hukum yang dibuat oleh Negara pada paling tidak oleh para pembuatnya sudah sedemikian mempertimbangkan capaian-capaian ideal dari hukum yang dibuatnya, meskipun memang tidak bisa dipungkiri bahwa juga para pembuat itu tidak bisa melepaskan diri dari beragam kelemahan dan keterbatsan-keterbatasan, bukan hanya secara teoritis tetapi juga elemen-elemen tehins serta elemen non hukum lain yang bisa berpengaruh terhadap kualitas suatu hukum yang dibuat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar