Senin, 27 Desember 2010

KOMENTAR ATAS GAGASAN LEGAL POSITIVISM JHON AUSTIN DAN H.L.A HART MENGENAI KEKUASAAN DAN KONSEPSI NEGARA NASIONAL

Shaff Muhtamar

Pengertian-pengertian Awal
Dalam rangka memberi komentar terhadap gagasan legal positivism Jhon Austin dan H.L.A Hart mengenai pendapat mereka tentang “Kekuasaan” dan “Negara Nasional”, maka perlu rasanya memulai komentar ini dengan terlebih dahulu medeskripsikan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan terma “Positiwisme” itu sendiri. Hal yang dimaksudkan disini adalah sejarah filosofi dari istilah tersebut dan juga arti dan pemaknaan dari istilah positivism, serta bertalian dengan itu adalah penggunaannya dalam beragam ilmu pengetahuan sebagai landasan filosofis.

Dalam membincangkan positivism, kita tidak bisa melepas diri dari pembicaraan mengenai sejarah filsafat barat, sebab positivism untuk pertamakalinya hanya dikelnal dalam sejarah filsafat barat. Artinya tempat lahir filsafat positivime adalah dari rahim pemikiran barat.

Fase zaman baru abad 17 dalam sejarah filsafat hukum pemikiran positivism mulai dikenal dan adalah Thomas Hobbes, filsuf yang memperkenalkan corak positivism dalam atmosfir pemikiran hukum. Thomas Hobbes (1588 - 1679) memutuskan tradisi hukum alam yang mengandung banyak kontraversi. Ia banyak menggunakan siatilah “hak alamiah” (law of nature) dan akal benar (right reason). Namun, yang pertama baginya adalah kemerdekaan yang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan (kekuatan)-nya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi preservasi hakikatnya sendiri,yang berarti kehidupanya sendiri. Kedua adalah asas-asas kepentingan sendiri yang sering didefinisikan dengan kondisi alamiah dari ummat manusia. Ketiga, kondisi alamiah dari ummat manusia adalah peperangan abadi yang didalamnya tidak ada standar perilaku yang berlaku umum. Langkah yang krusial dari teori Hobbes adalah pengidentifikasian masyarakat dengan masyarakat yang terorganisasikan secara politik, dan KEADILAN DENGAN HUKUM POSITIF. Kaidah-kaidah hukum adalah perintah dari penguasa (the sovereign), para anggota suatu masyarakat mengevaluasi kebenaran dan keadilan dari perilaku mereka, dengan mereferensi pada perintah-perintah yang demikian. Namun Hobbes juga mengatakan, walaupun penguasa tidak dapat melakukan suatu ketidak adilan, ia dapat saja melakukan suatu kelaliman (iniquity).
Sementara Positivisme dalam pengertian modem adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukurn-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-asul tertinggi (Muslehuddin, 1991: 27). Dengan kata lain, positivisme merupakan sebuah sikap ilmiah, menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Teori ini dikembangkan oleh August Comte, seorang sarjana Perancis yang hidup pada tahun 1798 hingga 1857.

Dimulai pada pertengahan kedua abad ke-19, positivisme menjalar ke dalam segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Ia berusaha untuk mendepak pertimbanganpertimbangan nilai-nilai dari ilmu Yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobak tatanan hukum positif. Para positivis mengajarkan bahwa hukum positivlah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. la juga menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.

Pandangan-pandangan Jhon Austin dan H.L.A Hart
Diketahui secara luas bahwa sarjana yang membahas secara komprehensif sistem positivism hukum analitik adalah John Austin (1790-1859), seorang yuris Inggris. la mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide-ide baik dan buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi (Friedmann, 1990: 258)., Menurut Austin, ilmu yurisprudensi membicarakan hukumhukum positif, karena mempertimbangkan tanpa memperhatikan baik atau buruknya hukum-hukum itu. Semua hukum positif berasal dari pembuat hukum yang sangat menentukan, sebagai yang berdaulat. Ia mendefinisikan penguasa sebagai seorang manusia superiori yang menentukan, bukan dalam kebiasaan ketaatan kepada seorang yang seakan-akan superiori dan yang menerima kebiasaan ketaatan dari suatu masyarakat tertentu. la menjelaskan bahwa atasan itu mungkin seorang individu, sebuah lernbaga atau sekumpulan individu. Penguasa tidak dengan sendirinya diikat oleh batasan hukum baik dipaksakan oleh prinsip-prinsip atasan atau oleh hukum-hukumnya sendiri.

Menurut H.L.A Hart adalah hukum itu adalah perintah; tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan atau yang diinginkan; studi hukum tentang makna hukum adalah penting tetapi harus dibededakan dengan studi sejarah, sosiologis dalam makna moral, tujuan sosial dan fungsi sosial; sistem hukum adalah sistem tertutup, merupakan putusan-putusan yang tepat dari aturan sebelumnya; dan menghukuman secara moral tidak dapat lagi ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argument yang rasional/pembuktian dengan alat bukti.

Tentang Kekuasaan dan Negara Nasional
Berdasarkan pengertian Austin dan Hart, maka:
 Analytical jurisprudance disatu sisi menekankan pada kekuasaan yang besar dari penguasa (negara) disisi lain menghendaki jaminan atau kepastian akan kebebasan warga negara
 Dalam konsepsi negara nasional, negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari warga negara serta menghendaki adanya kebebasan warga negara yang seluasnya

Kritik - Analisis
Sejak kemunculannya, posistivisme sebagai salah satu aliran filsafat telah mendapat tantangan dari berbagai filsuf yang lain, baik dari kalangan filsuf barat sendiri maupun kalangan filsuf timur khususnya islam. Jika ‘diklasifikasi’ para pengkritik aliran positivism ini adalah para filsuf yang memegang teguh postulasi mengenai ‘baik dan bukuk dalam perngertian moril, etik dan religi mememegang peranan esensial dalam menilai kebenaran/realitas’.

Misalnya penggolongan Austin yang mengkategorikan semua hukum sebagai perintah telah dikritik oleh berbagai penulis seperti Bryce, Gray, Dicey, yang menganggap hak-hak privat, undang-undang administratif dan hukum-hukum deklaratori tidak bisa digolongkan sebagai perintah. Disamping itu, teori Austin tidak menawarkan pemecahan dalam menghadapi interpretasi-interpretasi yang bertentangan dengan suatu keadaan atau preseden. Pemisahan hukum secara ketat dari cita-cita keadilan juga dibantah oleh pemikir-pernikir lain .

Artinya landasan gagasan mengenai Legal Positivism telah dikrtik bayak kalangan karena sifatnya yang memisahkan antara “yang ideal” dan “yang realitas”. Positivism hanya melihat kebenaran dari apa yang nampak secara empirical, apa yang tersembunyi dibalik ‘cita-cita, ideal-ideal dan prinsip-prinsip’ karena sifatnya abstrak maka tidak dapat dipertimbangkan sebagai variable untuk mengukur kebenanan.

Coraknya yang demikian inilah yang mewarnai kecenderungan aliran positivism dalam beragam bidang pengetahuan, termasuk bidang hukum yang cenderung melihat kebenaran itu dari ukuran-ukuran formalitas-formalitas.

Terkait dengan pandangan legal positivism tentang kekasaan dan konsep Negara nasional; bahwa Analytical jurisprudance disatu sisi menekankan pada kekuasaan yang besar dari penguasa (negara) disisi lain menghendaki jaminan atau kepastian akan kebebasan warga Negara dan dalam konsepsi negara nasional, bahwa negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan mendapatkan pentaatan tanpa syarat dari warga negara serta menghendaki adanya kebebasan warga negara yang seluasnya.

Jika pandangan-pandagan tersebut dianalisis maka kita akan menemukan dan memisahkan beberapa premis-premis penting seperti:
- Kekuasaan besar pada penguasa/Negara
- Kebebasan warga Negara
- Negara mempunya kekuasaan yang besar dengan syarat ketaatan tanpa syarat warganegara
- Kebebasan warga Negara seluas-luasnya.

Dari klasifikasi ini, kita dapat menarik benang merah gagasan, yang jika ‘dipadatkan’ maksud atau maknanya, maka kita dapat menunjuk dua premis utama dalam gagasan tersebut yakni:
1. Kekuasaan Negara yang besar
2. Kebebasan warga Negara yang luas
Menurut hemat saya kedua hal tersebut sangat kontradiktif dalam konteks logika kekuasaan. Kekuasaan terdiri atas dua variable utama, yakni Pihak Yang Berkuasa dan Pihak Yang Dikuasai/dalam penguasaan. Kekuasaan menjadi besar ataupun kecil sangat bergatung pada ‘daya jangkau/aksesibilitas’ kekuasaan itu terhadap pihak yang dikuasai; ‘daya jangkau’ yang dimaksud adalah sejauh mana pengendalian dan pemerintahan penguasa itu mampu menciptakan ‘ketundukan’ pada pihak yang dikusasi.
Sementara kehendak pada ‘Kekebasan Warga Negara’ mensyararatkan adanya Kekuasaan yang ‘lunak’ pada pihak yang dikuasai, sehingga terdapat ruang yang lebar bagi ekspresi kewarganegaraan. Dan seringkali dalam praktek ekpresi ‘Kekebasan Warga Negara’ dalam rana Negara modern, berkecenderungan menciptakan ‘instabilitas’ dan wibawah kekuasaan Negara menjadi tereduksi. Praktek ini sesungguhnya sagat dihindari oleh pemegang kekuasaan dalam Negara, sebab akan mendorong meluasnya kritik destruktif terhadap penguasa dan bisa member peluang terjadinya ‘pengambilalihan’ kekuasaan dalam segala bentuknya.
Jika melihat gagasan Jhon Austin dan H.L.A Hart tersebut yang berbasis pada positivisme, bahwa Kekeuasaan Negara yang besar menghendaki ketaatan absolut warga Negara maka, konsekwensinya kekuasaan Negara itu menjadi sangat otoritarian dalam pengertiannya yang luas. Dan dalam prakteknya aka ada kencederungan penguasa mengggunakan kekuasaannya dengan tangan besi dalam rangka memenuhi ketaatan tanpa syarat tersebut; konsekwensinya atas penindasan atas hak-hak dasar masyarakat. Dan sebaliknya jika ‘Kekebasan Warga Negara’ berjalan tanpa kontrol penguasa negara maka Negara akan kehilangan peran vitalnya sebagai organisasi kekuasaan yang punya cita-cita tertentu bagi masyarakatnya.
Oleh karena itu menurut hemat saya, konsep Jhon Austin dan H.L.A Hart tentang kekuasaan dan Negara nasional adalah ‘berbahaya’ secara teoritis maupun praktek karena:
1. Paradigma awalnya adalah pemisahan secara ketat antara yang baik dan buruk secara moril, etik dan religius dengan dunai empiris/pengalaman. Hukum, kekuasaan dan Negara hanya dilihat dalam kepentingan pragmatis dari kekuasaan dan tidak melihat dari hakekat kepentingan kekuasaaan dari sisi yang lebih sublim dalam terma ketuhanan.
2. Jika diterapkan dalam praktek, maka akan menimbulkan dampak yang buruk dalam kehidupan masyarakat manusia, karena watak dan sifatnya yang cenderung ‘tanpa nilai-nilai’ fitrah dan hanya mengutamakan ‘akal’ semata, sehingga prakteknya akan bententangan dengan watak asali dari jiwa manusia dan sejarah itu sendiri.
3. Sifatnya yang kontradiktif, akan menimbulkan ambiguisitas baik dia sebagai prinsip maupun sebagai praktek. Teori tersebut sengaja pempertentangkan antara ‘kekuasaan’ dan ‘kebebasan’ dalam rana politik, yang juga dengan sengaja diharapkan akan menimbulkan ‘benturan’ antara pihak penguasa dengan pihak yang dikuasai; dan ‘benturan’ yang tercipta tentu akan menguntungkan penguasa Negara sebab Negara memiliki alat-alat keamanan yang bisa digunakan untuk menjaga kekuasaan Negara, sementara pihak yang dikuasai hanya bermodalkan ‘kehadiran fisik’ sebagai massa. Teori ini sangat sangat diminati kaum ‘konspiratif’ yang selalu menghendaki chaos dan mengambil keuntungan material dibalik kekacauan yang timbul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar